Scene pertama
Ini adalah tahun dua ribu dua puluh dua.
Rumah kami tidaklah besar, tapi cukup untuk meruangi kami berlima (saya, mama, bapak, emak, dan abah). Halaman kami lumayan luas, sekitar tiga ratus meter persegi mungkin ada, berbagai pohon, dari mulai talas hingga asoka, bermacam palawija, juga serangga, cacing, burung, dan aneka hewan melata membentuk ekosistemnya sendiri di sana. April adalah musim basah, hujan menyapa cukup akrab tiap harinya, di jam-jam sore menjelang malam, terkadang subuh menjelang pagi, membuat kabut -kami menyebutnya halimun- turun dari bukit hingga ke pekarangan setelahnya. April menjadi bulan kebebasan, karena akhirnya saya menganggur. Tapi saat itu saya percaya -atau setidaknya mencoba meyakinkan diri-, menganggur mungkin lebih baik dari pada makin hilang dan terluka karena diterkam 'monster' tiap hari. Ini kali pertama setidaknya dalam lima tahun terkahir saya menghabiskan waktu lebih dari dua bulan di rumah. mengambil pekerjaan yang bisa saya kerjakan dari rumah, bertemu dengan manusia yang kebanyakannya ramah dan cukup menyenangkan untuk diajak berbincang -walau secara virtual- tiap harinya memberikan saya gairah dan mengobati rasa cemas saya, tapi jemu jua lama-lama. Masa itu kehidupan rasanya berjalan pelan, dan saya seperti diajari untuk menikmati setiap detik yang berlalu.
Scene kedua
Juni mampir juga. menandakan sudah setengah jalan tahun ini bergeliat molek, membawa banyak memori yang kian menumpuk dan tumpang tindih sebagiannya di otak saya. pertengahan bulan ini adalah ulang tahun Bapak. genap setengah abad lebih sedikit, dan selalu- dalam momentum memperingati hari kelahiran bapak, rasa sedih diam-diam menyelinap kedalam rasa syukur. menyadari bahwa sosok pria pertama yang saya temui dalam hidup saya, semakin menua. Tapi alih-alih menyesap lebih dalam rasa sedih ini, seringnya saya menepisnya, sebuah bagian dari penolakan untuk overthinking, karena itu mengagalkan saya untuk hidup dengan penuh kesadaran -mindful- pada saat ini. dengan umur bapak yang sudah melebihi setengah abad, memori baik dengannya tetap tersimpan rapi dalam ingatan saya; seperti ketika pertama kali saya belajar sepeda dengan bapak dan terperosok ke kebun nanas (ini mengenaskan tapi kini jadi lucu untuk dikenang), momen bapak pulang dari perantauan setiap beberapa bulan sekali dengan membawa aneka buah tangan pesanan saya, momen kami membeli sepeda baru dari hasil menabung dan pulang mengayuh sepeda itu sambil berhujan-hujanan ria, momen berenang di pantai bersama bapak, momen piknik ke taman safari untuk pertama kali, dan banyak lagi... Setidaknya memori-memori itu masih tersimpan dengan baik hingga kini.
Masih di bulan juni, saya juga memperingati hari lahir saya. Dewasa kini memperingati hari ulang tahun entah kenapa jadi terasa hambar. mungkin bersama usia saya jadi merasa bahwa ulang tahun sebetulnya sama saja dengan hari-hari pada umumnya, yang berbeda di hari itu kita boleh menambahkan satu pada hitungan usia. Tapi bagaimana pun saya tetap berterima kasih karena orang-orang terdekat saya dengan tulus menghadiahi doa dan selamat, mereka mengingatnya dengan baik dan merayakannya dengan suka cita, dan tentu hal itu tidak pernah gagal membuat tersentuh dan menambah lagi rasa syukur; bahwa saya dikelilingi orang-orang yang menghujani kasih tanpa pamrih.
Agustus datang,
Saya tidak yakin saya harus memberi tema apa bulan ini, karena campur aduk rasanya. gagal dan berhasil, keduanya mampir di bulan yang sama, dan saya mensyukuri keduanya. Untuk menemukan diri saya yang baru dari kegagalan yang saya alami, dan untuk membuktikan bahwa saya masih layak untuk mendapat kesempatan lain. Saya mencintai keduanya, karena pada akhirnya dari kedua itu saya belajar; untuk tidak menyerah dan terus mencoba, untuk tidak merendahkan diri saya hanya karena sekali gagal, dan ternyata kegagalan itu wajar sekali, normal dialami oleh banyak orang di luar sana. di titik ini, sejujurnya kegamangan terus mengambang dalam kepala saya, bagaimana pun saya jadi banyak bertanya; Mau kemana? Mau ngapain dulu? Mau mulai dari mana ya? Krisis kehidupan seperempat abad saya kira tidak akan semengganggu ini, tapi ternyata saya salah. Dengan segenap pergumulan dan pengharapan, saya mencoba terus berjalan, menghampiri satu persatu pintu, karena entah dari pintu mana Tuhan bukakan jalan.
Bohong kalau saya tidak murung dalam menjalaninya, tapi entah apapun perasaan yang meruang dalam hati, saya hanya punya satu pilihan: Terus hidup. Sekalipun langkah-langkah menjadi sangat berat, dengan sisa keberdayaan yang ada, saya harus menyeret kaki saya untuk terus melangkah. Menyakitkan dan melelahkan, tapi ini jauh lebih baik dari pada saya terus teronggok tak berdaya dan lama kelamaan tenggelam sendirian.
Scene ketiga
November menyapa,
November berasosiasi dengan banyaknya kenangan manis. Momen kelulusan dan wisuda, jalan-jalan, diterima bekerja untuk pertama kali setelah kelulusan, pertemuan dengan seseorang yang membuat kupu-kupu di perut saya beterbangan, dan momen bahagia lainnya. Saya kembali ke ibukota dengan perasaan yang tidak karuan, senang dan bimbang bersatu menghasilkan peperangan cortisol, adrenalin, dan serotonin membuncah. Saya mencoba untuk melihat dengan kaca mata bahwa mungkin ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya kepada Tuhan selama ini, bisa juga bukan, tapi marilah menjalani ini dengan penuh syukur.
Malam itu gerimis tipis-tipis, kereta saya berangkat pukul sembilan lima belas, dengan menggerek koper besar yang tingginya setengah dari tinggi badan saya, saya meninggalkan rumah, dengan kecup manis dari emak, dan doa tulus dari abah. Saya mengingat dengan jelas saya memeluk Iteung dan Odas -kucing kesayangan saya- sebelum pergi, lalu menyalami para tetangga dekat yang sudah dianggap keluarga sendiri untuk berpamitan. Sudah dua tahun tahun sejak terakhir saya meninggalkan ibu kota pada dua ribu dua puluh akhir, dan kini saya kembali menetap lagi, mungkin untuk waktu yang tidak sebentar.
Saya menghabiskan malam di kereta, perjalanan panjang dengan Serayu membelah sepur sepanjang tiga ratus lima puluh kilometer. Di atas kursi tegak lurus kereta ekonomi saya mencoba memejamkan mata, tapi pikiran saya sibuk sekali malam itu. Jakarta menyambut saya dengan udara yang lengket dan berdebu, entah apapun yang menanti di depan sana, kali ini pilihan saya lagi-lagi cuma satu: Menghadapinya dengan berani, karena saya pun sudah berjalan sejauh ini.
Dan untuk memulai lagi sebuah perjalanan baru memang benar, tidaklah mudah. Ketakutan sempat menguasai saya, membuat saya lupa bahwa saya punya kemampuan dan dengan itu mungkin saya bisa berdaya lebih dari ini. Kepercayaan diri menguap begitu saja, esteem saya mlempem dan mati-matian saya mencoba memompanya untuk mengembang lagi. Saya merenungi, kenapa ya sebegitu berat dan takut untuk dihadapi? Ini bukan pertama kali juga padahal... Belakangan saya sadari, ada banyak hal yang belum selesai dalam diri saya, dan saya harus berdamai dengan itu semua. Berdamai bahwa mungkin kata selesai itu tidak akan pernah ada pada akhirnya, yang ada adalah kita harus hidup dan terus berjalan bersama semua itu. Rasa takut hanya akan membelenggu dan membuat saya tidak berjalan kemana-mana, lalu kehilangan banyak kesempatan karenanya.
Seorang lelaki paruh baya dengan kemeja marun yang lengannya dilipat hingga ke sikut menghampiri saya, "Maaf mbak 15 menit lagi perpustakaan tutup, silahkan mulai berbenah" mendengar itu saya gagap tersentak, seperti ditarik dari imajinasi dan lamunan panjang saya dengan tiba-tiba. Tulisan saya belum selesai, dan nampaknya akan mengendap kembali di draft untuk ke sekian kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar