Dokumentasi pribadi |
Tiba-tiba aku lupa bagaimana tepatnya kita bertemu untuk pertama
kalinya, tapi aku selalu ingat kapan terakhir kali kita berjumpa. Sore itu
gerimis tipis-tipis, tetesan airnya terlihat membentuk gelombang kecil bulat
yang kemudian menyebar di atas air kolam kehijauan di hadapanku. Kita duduk
berhadapan di bangku pojok halaman belakang, saling betukar cerita dan
bercanda, berguyon tentang kodok dan kereta api, mengabaikan beberapa bunyi
ting-tong dari gawai yang dicampakkan begitu saja di atas meja. Petang itu kita masih duduk
seperti itu, dengan topik pembicaraan yang ringan diselingi tawa kemudian memberat. Terkadang
sampai lupa bahwa saat itu kita hanya manusia yang baru menginjak seperempat
abad usia, belum terlalu senior dan belum bisa dikatakan cukup berpengalaman
dalam menganyam berbagai hal runyam. Tapi begitulah waktu dua ratus empat puluh
menit berlalu, melintasi pergantian shift antara matahari dan rembulan.
Malam itu, diantara perbincangan kita, aku telah sampaikan semua bahwa aku merelakanmu (tentu saja secara tidak langsung dan dengan bahasa tersembunyi). Aku sangsi kau menyadari hal itu, atau bisa juga sebenarnya kamu paham betul apa maksudku namun berpura-pura naif, karena setelah ku pelajari, itu jadi salah satu keahlianmu selama ini. Napasmu berhembus panjang dan berat, tapi bibirmu tetap terkatup rapat. Hatiku berdebar tak karuan, perlahan aku paksakan agar mataku lurus menatapmu karena sedari tadi aku hanya bisa melempar pandang pada rintik air di kolam. Saat mata kita bertemu, dalam hitungan tiga ketukan aku menjumpai tatapanmu justru kian sulit untuk ditafsirkan.
Jari tengah dan telunjukmu bergantian mengetuk-ngetuk meja dengan sangat perlahan hingga nyaris tak bersuara. Hening menggantung begitu jelas dan terang, melongkap jarak diantara bangkuku dan bangkumu yg saling berhadapan. Lagu Dean Lewis (yang saat itu aku tak ingat apa judulnya) mengalun tidak terlalu keras tapi tidak juga terlalu pelan dari pemutar musik. Saat lagunya memasuki bagian reffrain bibirku perlahan mengikuti liriknya yang sudah ku hapal di luar kepala: "I just wanna stay, but my friend says: I know you love her but it's over mate, it doesn't matter put the phone away, it's never easy to walk away, let her go... It'll okay... It's gonna hurt for a bit of time, so bottoms up let's forget tonight, you'll find another and you'll be just fine, let her go... It'll be alright.. It'll be alright... It'll be alright..." dengan subjek Her yang kuganti dengan Him. Semua perlahan berubah jadi biru dalam pandanganku.
Setidaknya, telah kutepati janji pada diriku: untuk mengatakannya langsung padamu, walau konsekuensi yang harus kutanggung tak kalah menyebalkannya dari pemadaman listrik tanpa pemberitahuan di waktu kerja. Kusampaikan tentu dengan bahasa metafora, jelas saja tak bisa kukatakan dengan jelas begitu saja karena lagi pula sudah kutebak bagaimana akhirnya (dengan modal ke-sok tahuan dan intuisiku). Walau begitu, aku masih belum cakap benar dalam menata hati, setelah rasanya pecah berkeping-keping dihantam dirimu yang bergeming kukuh dalam diam.
Pipimu selalu matang saat cuaca terlalu panas atau terlalu dingin. Punggung tanganmu menjadi lebih gelap karena akhir-akhir ini kau cukup sering keluar siang hari. Aroma pewangi pakaian yang menguar dari jaket yang kau letakkan di atas meja masih sama, sampai kurasa aku pasti bisa menebak tepat jenis pewanginya. Kebiasaanmu tetap begitu, kau pasti mengaduk latte dalam cangkirmu hingga buihnya menyatu, karena kau tidak pernah suka jika buih itu meninggalkan jejak putih di atas bibirmu saat kau meneguk perlahan isinya. Nada dering ponselmu masih sama, begitu pula goresan-goresan pada casing penutup bagian belakangnya, belum sempat menggantinya, huh? Balasan-balasanmu juga masih sama; tidak pernah lebih dari satu kalimat pendek sederhana pada pesanku yang hampir satu paragraf penuh dan butuh jeda berpuluh-puluh menit untuk membalas setelah kau membacanya.
Sial! Aku masih mengingat detail-detail itu dengan jelas. Sekuat tenaga kutelan bulat-bulat rasa sesak yang hampir saja jatuh mengalir deras. Rahangku mengeras, kedua manikku terasa semakin panas, aku terdiam beberapa saat; pertama, agar kau tak perlu mendengar suaraku yg saat itu pasti bergetar dan kian sumbang. Kedua, aku sedang berusaha keras membendung air bah yg siap tumpah dari kedua mataku. Ketiga, kata-kata mendadak kabur, pikiranku kosong melompong. Aku memecut diriku agar kembali bersikap senormal mungkin meski berbagai perasaan aneh seperti sedang berpesta pora dalam hatiku. Hah... aku menarik napas panjang, sedih dan buntu. Jarak antara kita sedekat ini tapi juga selalu terasa sejauh itu.
Malam itu pukul delapan lewat dua puluh empat, kita berpisah. Tidak banyak basa-basi terucap, salam perpisahan pun amat sederhana dan singkat. Kau memacu kendaraanmu ke timur sedangkan aku ke barat. Gerimis telah reda, rembulan entah bagaimana terlihat seperti sedang gembira merayakan kemenangannya menghalau mendung di atas sana. Entah kenapa kali ini aku tidak suka dengan rembulan itu, dia nampak seperti mengejek dan menertawaiku karena kini hujan telah berpindah ke wajahku.
Di ujung wiridku, aku berdoa untuk kebahagianku tapi anehnya saat
ku jabarkan, doa itu sering berakhir dengan tiba-tiba terlintas bayangan
wajahmu. Rasanya seperti semakin aku membiasakan diriku untuk menerima
kenyataan bahwa mungkin namaku tidak ada dalam daftar istimewamu dan tidak tersebut jua dalam doamu, semakin
sering juga tiba-tiba dadaku terasa sesak seperti dipukul-pukul, ngilu seperti
ditusuk sembilu, kemudian cuplikan-cuplikan tentang dirimu berkelindan, muncul
bergantian bak rangkaian potongan pilem yang diputar pada layar tancap di
langit-langit kamarku. Sering kali hal itu membuatku sulit untuk terlelap saat
malam, menciptakan semacam rasa pening saat pagi menjelang.
Sejak saat kau membawa nama feminin lain pada obrolan akhir pekan kita di bangku halaman belakang, aku mulai bersungut untuk menyunting redaksi doaku. Kebahagiaanku tidak harus lagi berasosiasi dengan dirimu, tapi dengan siapa saja yang Dia kirim. Dan boleh jadi itu kau, boleh jadi bukan. Tidak mengapa. Lagi pula, tidak semua hal dalam hidup harus berjalan sesuai skrip buatan kita, bukan?!
Sudah lama sejak terakhir kali mataku menjadi sering sembab hampir tiap dini hari karena menangis patah hati (aku berusaha untuk legawa setengah mati untuk mengakui ini). Tak apa, tetapi kali ini aku tidak mau terlalu lama menguras air mata seperti yang sudah-sudah. Itu mauku, tapi apalah daya. Manusia tetaplah manusia. Kecewa adalah kecewa. Sedih adalah sedih. Patah hati tetaplah patah hati.
“Jangan terluka lagi, lain kali harus lebih hati-hati!” kataku tegas pada
diriku.
“Lihatlah sekarang, dia kembali mengharapkan seseorang yang
mengharapkan orang lain” kataku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar