Tengah hari saat adzan dzuhur
berkumandang, mereka akan pulang dengan masih mendorong gerobak merahnya yang
berisi lebih banyak dan lebih penuh. Kadang beberapa kelapa bertengger, kadang
ubi dan singkong, kadang jagung dan sayuran, kadang setandan pisang yang hampir
menguning dan pepaya, mereka mengambil apa saja yang sudah layak dipetik dari
sawah dan kebun mereka, dan ini menjadi alasan mengapa gudang penyimpanan dan
keranjang dapur tak pernah terlihat kosong. Sesampainya di rumah, segelas air
seduhan gula merah akan cukup menghibur rasa lelah dan gerah mereka. Soal
makan, aku tidak pernah menjumpai Abah yang protes mengapa Emak doyan sekali
memasak sayur setiap hari. Abah hanya akan menyendok nasi dua kerukan penuh,
kemudian mengguyurnya dengan sayur, ikan asin sangrai dan sambal yang nyaris
kehilangan harga diri karena rasanya tidak pedas sama sekali.
Saat hari sudah agak menua,
sembari menyantap singkong rebus dan engsrod
–sejenis kerupuk yang terbuat dari parutan singkong- Abah akan terus
bercerocos, menceritakan apa saja yang dijumpainya seharian ini. Ceritanya
kadang dimulai dengan keadaan sawah yang tak kunjung digenangi air, tikus tanah
nakal yang menggarong ubi-ubi di kebun, perangkap lalat yang lemnya tidak
lengket, bangkong di sawah yang bertelur subur menempel di pematang sawah, harga
pupuk yang sEmakin tidak masuk akal, pertemuannya dengan rekan sesama petani,
adzan dari salah satu surau yang selalu lebih cepat 15 menit dari jadwal
seharusnya, bebek-bebeknya yang bertelur tidak menentu, atau membahas musim
hujan yang dirasa masih ragu-ragu berpesta membawa kabar gembira. Emak akan
menimpali atau hanya tertawa, karena Emak berpendapat dari zaman masih bujang
hingga sekarang sudah jadi bujang lapuk, Abah tidak pernah berubah: masih
selalu bercerita dengan penuh semangat dan bernada jenaka, dan hal itu jadi
hiburan tersendiri buat Emak.
Selepas isya giliran Emak yang
bercerita, kadang mengulang topik yang sama yang sudah dibahas sebelumnya,
kadang juga hanya bercelutuk sederhana tentang apa saja yang terlintas di
pikirannya. Kemudian diatas kasur kapuk yang digelar di ruang teve, mereka akan
tawar menawar menentukan siapa yang lebih dahulu harus memijat sambil mengolesi
balsem. Biasanya Emak akan mengalah karena Abah lebih banyak berargumen ini itu
dan hal itu membuat Emak sebal. Aroma balsem menguar memenuhi ruangan,
bercampur dengan aroma tubuh mereka yg khas. Setelah memijat Abah kemudian Emak
akan menagih gilirannya, hal ini sering juga membuat Emak sebal dan protes,
karena Abah hanya akan membayar dengan memijat alakadarnya dengan alasan sudah
keburu mengantuk. Emak akan mengomel kemudian mengancam bahwa mulai besok Emak
tidak akan mau disuruh memijati Abah lagi, Abah hanya akan nyengir dengan suara
tawanya yang jenaka memamerkan sederet gusi merah muda yang sudah yatim piatu.
Ku perhatikan hingga saat ini ancaman itu tak pernah benar-benar terbukti.
Semakin tua, cinta banyak
bertransformasi, bukan lagi dalam bentuk hadiah-hadiah kejutan, kata romantis,
atau kecupan di kening. Cinta menjadi semakin sederhana, diterjemahkan dengan
saling merawat, menemani, dan saling berbagi. Cinta berwujud nasi hangat dan
sayur yang tersaji tiap hari di meja makan. Cinta berwujud tidak pernah
membiarkan salah satu menjadi hanya satu. Cinta berwujud menemani langkah
beriringan. Cinta berwujud saling berbagi perasaan dan saling mendengarkan.
Cinta berwujud saling mengolesi balsem dan memijati satu sama lain bergantian
sebelum terlelap. Cinta berwujud doa-doa tulus memohon kesehatan, keberkatan,
kebahagiaan, dan panjang umur untuk satu sama lain. Cinta berwujud rasa syukur
yang selalu deras terucap merayakan setiap hari yang dilewati bersama, menerima
dengan patuh dan sungguh semua suka dan dukanya, tawa dan tangisnya.
“Tiap pagi menjelang kau disampingku, ku aman ada bersamamu… Selamanya…
Sampai kita tua, sampai jadi debu… Ku di liang yang satu, ku disebelahmu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar