Menara
Api
Karya
: Rina Parliya
Angin
gurun mengelus perlahan menerbangkan aroma bubuk mesiu, aroma kegelisahan dan
keketiran seketika menyeruak jua mengendapi hari yang dijilati gagah mentari.
Ameer mengayuh sepeda tuanya melewati gang- gang kecil di pemukiman padat
penduduk Kishmar, sebuah distrik yang berjarak dua belas kilometer dari pusat
pesta nyawa, Jalur Gaza – ranah Al-Aqsa. Raja siang tengah berbahagia menyambut
nyawa – nyawa para syuhada yang dipanggil Tuhannya, suara rentetan peluru yang
dimuntahkan panser – panser Israel tengah memupus segala kedamaian, suara
rentetan itu ibarat lagu yang setiap waktu berdendang mengantar ruh – ruh
kembali ke HaribaanNya, ratusan nyawa tak berdosa telah hilang akibat konflik
tak berkesudahan ini, ratusan wanita menjadi janda, para bocah menjadi yatim
dan para ibu kehilangan buah hati mereka. Ameer menghentikan laju sepedanya dan
dengan segera merobohkan tubuhnya ketanah, kedua matanya yang bening purnama
merekam ketika ratusan muntahan basoka berlomba meluncur mewarnai langit, dadanya
berdegup kencang dan mulutnya tak henti menyebut asma Tuhannya.
“Assalamualaikum
Ustadz!” sapa Ameer begitu dirinya sampai di masjid Al-Ulumussalam. “Waalaykumussalam,
kemarilah Nak!” Ustadz Hakim menutup mushaf Al-Qur’annya dan memandang Ameer
dengan senyum yang bersahabat, iapun duduk didepan Ustadz Hakim dan
mengeluarkan buku catatan lusuhnya dari dalam tas kulit pemberian ayahnya.
“Assalamualaikum! Maaf kami terlambat! Sekte Hizbun telah diserang Ustadz,
Zainab menjadi seorang yatim!” pilu rasanya hati mereka mendengar berita itu,
akan ada berapa ratus lagi anak – anak
yang menjadi yatim akibat kebiadaban tentara Zionis Israel? Retoris yang
menjadi misteri dalam batin mereka. “Innalillahi wainna ilahi raji’un!” jawab
mereka serempak. Semua mematung, luka jelas terlukis di teduh air muka mereka,
hening sesaat. Sesosok tubuh tinggi
semampai, dengan tudung putih yang
melambai dipermainkan angin mendekati mereka, batang hidung yang menjulang
indah tampak serasi dengan sepasang mata sebening embun dan lengkung alis yang
hitam berkilat. Fatima, begitulah gadis belia itu biasa disapa. Teduh wajahnya
tersembunyi dibalik tunduk, setelah mengucap salam iapun duduk disamping Ustadz
Hakim yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Betapapun
gentingnya situasi diranah suci Al-Aqsa ini, namun semangat juang dan semangat
belajar tunas – tunas mudanya untuk belajar tak pernah surut. Ketika setahun
silam ratusan basoka meluluh lantahkan bangunan sekolah Ameer, maka perjuangan
untuk menimba ilmu tak turut terkubur hancur bersama ratapan puing – puing lara
bangunan madrasah itu. Bersama puluhan rekannya, Ameer menimba ilmu di masjid
Al-Ulumussalam, satu – satunya masjid agung yang masih berdiri di distrik
Kishmar. Selepas dzuhur hingga pukul lima petang, mereka belajar bersama para
Ustadz yang dengan sukarela membagi ilmunya pada para santri. Diranah zaitun ini, nyawa ibarat barang obralan yang dengan mudah tumbang diberondong peluru muntahan monster –
monster baja Israel. Ayah Ameer adalah salah satu korban kekejihan Israel,
masih lekat diingatannya, ditengah malam ketika purnama menerangi langit Kishmar,
sekelompok tentara Israel mendobrak pintu rumahnya dan menyeret ayahnya keluar
dan membawanya kedalam mobil box hitam, jerit ibunya yang menyatat purnama tak
sama sekali mereka dihiraukan, hingga detik inipun ayah Ameer tak pernah
kembali dan tak diketahui keberadaannya.
Masjid
dengan kubah putih keemasan dan menara yang tinggi menjulang meniangi langit
ini, selain berfungsi sebagai sarana ibadah dan aktivitas syi’ar Islam, juga
telah menjadi naungan Ameer dan kawan – kawannya menuntut ilmu. Dalam situasi
genting seperti ini, bagi Ameer bukanlah suatu halangan untuk berhenti mengejar
cita – citanya. Serba kurang tak menyulutkan semangatnya, kelak jika ia sudah
dewasa, ia ingin menjadi seorang ahli tekhnologi yang menciptakan peralatan
–peralatan canggih bagi perlindungan keamanan Palestina, sehingga negeri itu
takkan lagi dijajah, “Takkan ada lagi
tangis pilu dam rintih duka atas pertumpahan darah, takkan ada lagi dan tak
boleh ada lagi!” Tegasnya dalam batin. Usia pemuda itu kini sudah menginjak
angka 16, Perang telah mengajarinya banyak hal, termasuk arti mensyukuri nikmat
Allah dan perjuangan tak kenal letih. Ameer faham bahwa dengan pendidikan,
dirinya dapat menjadi cerdas, besar harapannya akan kemerdekaan tanah airnya
ini dari cengkraman kaum Yahudi.
Siang itu, seperti biasa Ameer berpamitan pada
ibunya untuk pergi menuntut ilmu. Ditemani sepeda tuanya ia bergegas pergi,
hanya butuh lima belas menit untuk sampai di Masjid Al-Ulumussalam dan
setibanya disana, sayup terdengar suara lirih merdu lantunan kalam Tuhan. “Ya Ayyuhalladzina aamanu in’tansurullaha
yansurukum, wayusabbit aqdamakum” (Muhammad : 7) desiran hangat menyusupi
relung qalbunya, perlahan ia langkahkan kakinya mendekati sumber suara merdu itu.
Dadanya berdegup kencang ketika kedua matanya menangkap sosok gadis cantik
dengan hijab putih sedang memangku kitab, Fatimaa! Seru batinnya. Ameer tak
pernah mengerti mengapa ada debar halus didadanya tiap kali kedua matanya
memotret teduh air muka Fatimaa. Gadis ayu itu terkadang menari – nari di dalam
otak Ameer, Masa remaja yang ia jejaki kini ternyata sudah mulai terhias rasa
manis menyukai lawan jenis, namun Ameer faham betul bahwa bukan saat yang tepat
untuk mengutarakan isi hatinya kini pada Fatimaa.
“Ameer,
apa yang kamu lakukan disini Nak?” suara berat milik Ustadz Hakim membuyarkan
lamunan Ameer. “Ah Ustadz, tidak, saya hanya sedang menunggu rekan – rekan
lain!” jawab Ameer sekenanya. “Yang lain sudah datang, mari! Fatimaa, pelajaran
akan dimulai, bergegaslah Nak!” seru Ustadz pada Ameer dan pada Fatimaa yang
sedari tadi nampak asyik berkutat dengan mushaf Al-Qur’annya. Gadis itu
menoleh, sepasang mata indah sebening embun itu bertukar pandang dengan
sepasang mata kilat purnama milik Ameer, seuntai senyum tunduk terlempar
bersamaan, degupan kencang bertalu-talu dalam dada Ameer. Pelajaran untuk hari
ini adalah Fisika, Sains dan Al-Qur’an Hadis, dengan apik Ustadz Hakim
menjelaskan semua materi dan dengan sabar menanggapi pertanyaan – pertanyaan dari
anak – anak didiknya.
Diakhir pelajaran, seperti biasanya Ustadz
Hakim memberikan wejangan – wejangan pada para santrinya, “Nak, kalian semua
adalah harapan Al-Aqsa, teruslah belajar dan berjuang, kemerdekaan takkan kita
raih dengan hanya diam berpangku tangan, keterbatasan dan ancaman bukanlah halangan
untuk kalian gantungkan dan kalian raih mimpi – mimpi kalian! Tanah air kita
membutuhkan kalian, tanah air kita memerlukan generasi cerdas untuk memimpin
dan membebaskan kaum kita dari cengkraman Yahudi! Gantungkanlah cita – cita dan
haarapan kalian lebih tinggi dari menara masjid ini! Kelak sekalipun menara
masjid ini runtuh, maka haarapan kalian akan tetap hidup! Belajarlah dengan
bersungguh-sungguh dimanapun, karena dengan kesungguhan itu, kalian dapat
menjadi apa yang kalian ingin! Berjuanglah Nak! Wahai orang – orang yang beriman, barang siapa yang menolong agama
Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu! (QS
Muhammad : 7)” tukas Ustadz Hakim dibarengi senyum hangatnya yang menyusupkan keteduhan pada hati santri-santrinya.
Ameer
menghampiri sepeda tuanya yang setia terparkir dihalaman masjid, ia harus
segera pulang karena ia harus membantu ibunya menumbuk gandum dan membuat
adonan roti, perkataan Ustadz Hakim tadi benar – benar membawa hawa positif yang
menggebu dalam diri Ameer. Ia tetap bersyukur masih bisa mengeyam pendidikan
ditengah konflik agama yang berkecambuk, langit Mei ibarat kanvas biru terang
dengan lukisan awan – awan putih, Ameer berdiri dipinggir sepedanya, mata
purnamanya menerawang jauh ke puncak menara masjid yang tinggi menjulang, “Aku berjanji akan menjadi seorang yang
berguna bagi bangsaku, aku berjanji akan terus berjuang untuk kebebasan tanah
airku, aku berjanji akan terus belajar agar aku bisa meraih semua mimpiku, aku
berjanji akan menjadi seorang ahli tekhnologi dan menciptakan peralatan
keamanan anti teror untuk Palestina,, agar kelak Palestina tak lagi tejajah
seperti sekarang, Ya Rabbku, perkenankanlah! Wahai menara yang tinggi menjulang,
saksikanlah! Saksikanlah bahwa mimpiku dan semangatku akan lebih tinggi
menjulang dari padamu! Saksikanlah!” Janjinya dalam hati, sepasang purnama
itu kini menyala berkilat-kilat, sungai kecil mengalir dipipinya dan haru
berkecambuk dibatinnya.
Ameer
mengayuh sepeda tuanya meninggalkan pelataran masjid, namun tiba-tiba terdengar
suara lesingan senjata menderu, sebuah basoka berukuran 2 meter melesat
membelah langit dan dalam hitungan detik tengah siap menghantam menara masjid,
Duuuaaarrrr... akhirnya batang baja itu menabrak puncak menara dan kemudian
meledak, Ameer melompat dari sepedanya dan membanting tubuhnya ke tanah,
bibirnya bergetar menyebut asma Tuhan, dadanya terasa begitu sesak. Menara itu
dalam hitungan menit berubah menjadi menara api, kobaran api menjalar menjilati
tiang langit itu. Tak berselang lama, basoka kedua meluncur membombardir menara
api itu, kali ini menara yang gagah itu terlihat pilu, bagian atas tubuhnya
mulai hancur sedang angin dengan genit menyambar kobaran api, menara itu masih
tampak tegar sebelum kiriman basoka yang ke-7 menggoyahkan kokoh pondasinya dan
akhirnya menara api itu benar – benar tumbang, tak cukup sampai disana, hujan
peluru dan meriampun turut membombardir masjid. Luka dan pilu jelas tergambar
diwajah Ameer, duka mengalir deras dipipinya, sepasang rembulan molek itu kini
tertutup hujan lara, satu – satunya tempat paling agung dan tempatnya menuntut
ilmu kini hanya tinggal tumpukan puing-puing, hatinya seakan turut remuk terkubur bersama reruntuhan, perasaannya pun
seaakan turut terbakar bersama menara kebanggaannya itu, “Israel biadab! Aku berjanji akan membalas segala luka dan kehancuran
ini! Ya Rabb, berilah kami kekuatan! Ya Rabb, kembalikan kedamaian kami!” batinnya.
“Innalillahi
wainnailahiraji’un!” suara Ameer terdengar sayu bergetar begitu ia mendengar
kabar bahwa Ustadz Hakim dan Fatima telah syahid dalam pesta peluru di masjid
kemarin sore. Ameer dan puluhan santri lain kini telah kehilangan sosok guru
terbaik dan juga sahabat terbaik mereka. Isak tangis mulai terdengar
bergemuruh, ia pun tak kuasa menahan air matanya, masih tergambar jelas
bagaimana teduh air muka dan senyum Ustadz Hakim dibenaknya, masih pula
terngiang suara lembut memberatnya. Dadanya terasa begitu perih, ia tak hanya
kehilangan sosok guru yang sudah ia anggap ayahnya sendiri, tapi ia juga
kehilangan sepasang mata embun yang apabila ia pandang, maka sejuklah hatinya,
senyum yang seakan lebih legit dari gulali, merdu lantunan ayat yang membuat
hati menjadi syahdu, semua itu hanya tinggal sebongkah kenangan yang mengendapi
perasaannya, perang benar telah merenggut orang-orang terkasih. .
“Celakalah
kita kawan, kini tiada lagi guru yang akan mengajar kita, tiada pula tempat
bernaung untuk kita belajar!” nada putus asa terdengar jelas dari ucapan Ahmed.
“Kita bisa belajar dimanapun sekalipun tanpa guru kawan! Ingatkah kalian
wejangan terakhir Ustadz Hakim? Gantungkanlah semangat dan cita-cita kita lebih
tinggi dari menara mesjid itu, maka kelak meski menara itu runtuh, impian dan
semangat kita akan tetap kokoh berdiri! Kini menara itu telah terbakar dan
hancur bekeping-keping, tapi Allah tidak pernah hancur! Tapi mimpi, harapan dan
semangat kita lebih tinggi dari menara itu! Semangat, impian dan harapan kita
takkan terbakar dan hancur karena hujan peluru, kita adalah harapan terbaik
yang dimiliki Palestina kawan! Al-Aqsa membutuhkan kita! Keterbatasan dan
kekurangan bukan halangan untuk tetap berjuang dan belajar bukan? Sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang bertawakal!” jelas Ameer panjang lebar, semua rekannya
tertegun untuk kemudian mereka saling berangkulan. “Ya, Kawan! Kita akan berjuang
bersama, kita takkan mengecewakan Al-Aqsa! Kita akan terus belajar, Allahuakbar!” seru mereka berbarengan,
tangan mereka mengepal penuh gairah ketika takbir diserukan.
Angin
menerbangkan debu-debu reruntuhan Al-Ulumussalam, menara dan bangunan masjid yang
kemarin masih berdiri agung kini hanya tinggal ratap puing, luka belum kering
dalam hati pemuda-pemuda itu, tapi semangat membuncah mengalahkan segala
keputus asaan. Pendidikan adalah jalan terbaik untuk mencerdaskan diri guna
menjadi penyongsong masa depan Al-Aqsa untuk meraih kemerdekaan. Meski kini
mereka jauh dari fasilitas dan tekhnologi canggih, namun mereka percaya, bahwa
Tuhan lebih canggih dari dan Tuhan Maha Pemberi Ilmu, mereke percaya “Fainna ma’al usrii yusraah”. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada
kemudahan.
Banjar, 07 Mei 2013