Bapak selalu melarang aku untuk bersikap manja, bahkan memarahi saat terkadang aku sedikit berfoya dengan dunia. Bapak mengajarkan bagaimana hidup sederhana, bagaimana menempatkan diri, bagaimana kerasnya perjuangan, bagaimana menjadi orang yang mandiri tanpa bergantung pada orang lain, bagaimana jadi orang yang menghargai orang lain dan bagaimana menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi sesama.
Bapak sudah hafal dengan asam pahit kehidupan, bahkan masa kanak2nya ia habiskan untuk menafkahi dirinya sendiri. Wajar saja, Bapak anak ke-6 dari 8 bersaudara. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang tak banyak bicara dan dingin. Suatu masa aku merengek meminta dibelikan sandal baru, karena aku sudah mulai bosan dan tak nyaman dengan sandal lamaku, Bapak bilang "Kamu tuh sudah untung punya sendal bagus! Bapak dulu sandal saja bikin sendiri dari batok kelapa, kesekolah saja sajan lima kilo dengan kaki telanjang! Baju pun cuma punya dua, itupun lungsuran dari Kakak!" aku tertegun, Bapak, alangkah kecilnya aku dimatamu.
Saat umur 6 tahun, Bapak ditinggalkan Kakek pergi ke alam barzah, tiada lagi yang membiayai sekolah, tiada lagi penanggung nafkah, lelaki itu pergi dengan hanya meninggalkan warisan sepetak tanah dan rumah bilik 5x5 meter. Bapak terancam putus sekolah, tapi Bapak mau sekolah, Bapak rela jadi pembantu di rumah orang agar bisa sekolah. Tapi Allah Maha Adil, Bapak orang yang intelegensinya tak perlu diragukan, tiap tahun selalu dapat ranking satu, Bapak orang yang cerdas & rajin hingga disayang guru2nya. Akhirnya Bapak bisa lulus SLTP, sebagai siswa teladan & berprestasi.
Namun, untuk lanjut SMA Bapak tak tahu harus bagaimana biar dia dapat biaya, akhirnya perjuangannya berhenti sampai bangku putih biru saja. Siswa berprestasi itu harus menyerah pada nasib, siswa teladan itu harus mengubur mimpinya dalam-dalam untuk sekolah tinggi, untuk jadi seorang insinyur, ditelikung cengkraman kemiskinan. Bapak mengobati rasa kecewanya dengan merantau ke pulau Andalas, menjadi buruh perkebunan. Bekerja seperti seorang budak. Sekali lagi Bapak harus menelan pil pahit kehidupan yang masih belum bersahabat dengannya.
Siang itu, aku tiba di gerbang Padjadjaran dengannya. Ku tatap lekat tulisan "Universitas Padjadjaran" yang angkuh berdiri diatas bukit itu, kugenggam erat tangan Bapak yang kasar penuh bekas kapalan, diam-diam aku mencuri pandang pada wajahnya yang hitam legam terbakar sinar matahari, matanya berkaca-kaca namun bibirnya tetap tersenyum sumringah. Mata ini mendobrak batas ketegaran, air mata meluncur pelan dari sudutnya.
"Pak, anakmu bisa kuliah di kampus terbaik di tanah kisunda, anakmu jadi calon sarjana, anakmu bisa menyambung asamu yang terkubur lama itu, insya Allah" betapa ingin kukatakan itu padamu Pak, namun tak pernah terucap kata-kata itu dari lisanku.
Lalu belakangan kudengar dari tetangga, sepulang mengantarku dari kampus ini, Bapak dengan banga berkata kepada mereka "anak seorang kuli masih bisa kuliah, biidznillah, anak saya sekarang belajar di Unpad, gratis karena beasiswa! Alhamdulillah!"
Pak, doakan aku supaya bisa jadi anak yang membawamu ke jannah ya 😇
Rabu, 30 September 2015
Posted by Rina Parliya on 20.53.00 with No comments
Posted in About Me
Langganan:
Postingan (Atom)