Malam ini, lagi-lagi kantukku menguap hilang, sudah kumatikan lampu, ku kunci pintu, kutata bantalku, berharap segera terpenjam pulas. Tidur selain merupakan kebutuhan biologis Homo Sapiens, juga merupakan cara ajaib untuk melupakan sejenak realita dan segala cerita yang belum menemukan plot yang berakhir indah. Dewasa ini tidur dengan tenang menjadi hal yang kian mahal.
Sudah coba ku berdamai dengan
ramai isi kepalaku, lelah badanku, ingin ku rehat, biar barang sesaat. Tapi perdebatan sedang
berada di klimaks, sukar memberi argumen pamungkas untuk menengahi. Pasrah ku
terlentang, menatap kosong.
Malam selalu terasa lebih panjang
dan lebih melelahkan dari pada siang, setidaknya buatku. Orang bilang malam
adalah waktu yang tepat untuk istirahat, saat sunyi bergerilya menyusupi
sudut-sudut yang biasanya riuh saat hari terang, sunyi memeluk tubuh-tubuh ringkih untuk mati suri, sunyi menghipnotis jiwa-jiwa yang lelah untuk tenggelam
dalam damai. Tapi buatku, malam seperti hamparan padang gelap dan sepi yang
terbentang di pelupuk, di padang itu aku mengerang, berteriak, berlari, menari, berguling, bersenandung, atau hanya duduk bengong, menatap gelap, menghirup dalam-dalam udara yang entah kenapa terasa pekat, semakin dihirup, dada terasa semakin penuh dan sesak.
Sering kudapati sebagian diriku
hilang, seperti menguap bersama udara, meninggalkan kekosongan yang terlalu
nyata dan mencolok untuk diabaikan. Kemudian di lain waktu aku mendapati diriku
begitu sibuk menambal di sini dan di situ, mengisi ini dan itu, mencoba
mengenyahkan kosong yang melompong tidak elok itu. Tak jarang juga
tambalan-tambalan itu di kemudian hari kembali bocor, dan segala macam isian yang ditambahkan
kembali menguap, meninggalkan hampa yang akhir-akhir ini jadi terasa lebih
familiar.
Berbagai topik diperbincangkan, dari yang tak penting: seputar pohon jambu di halaman yang entah kenapa dewasa ini tidak lagi berbuah lebat, hingga ke topik-topik yang semakin berat. Semua bising riuh dalam kepalaku. Begitu kontras dengan sunyi yang mengambang dan mengembang di ruangan ini.
Sunyi menjadi belati yang terus menerus diasah dan diarahkan mendekat seinchi demi seinchi ke dadaku, semakin ia pekat, semakin tajam belati itu, semakin gaduh dalam diriku.
Sunyi menjelma menjadi teriakan paling lantang yang tak pernah bisa didengar.
Ada banyak sekali hal yang sengaja (atau mungkin juga tidak) dikubur rapat dalam labirin paling bawah, paling ujung, dan paling gelap. Ia tersembunyi disana, dibalik pintu baja yang terkunci rapat, dijaga oleh berbagai perangkap jebakan, seperti yang ada di film James Bond. Aku berspekulasi, sepertinya yang terkunci disana adalah monster-monster mengerikan.
Sunyi mengikis satu persatu pertahanannya, hingga terbukalah ruang rahasia yang sebelumnya selalu terlupakan dan dihindari. Lebih seringnya diriku menjadi seperti bolong dan ngun-ngun saat mengetahui apa saja yang lama terkunci disana. Hatiku jadi terasa berat, kepalaku terasa penuh, banyak cuplikan ingatan melayang-layang di udara.
Ada banyak raut wajah berkelindan dan suara-suara mengambang dalam hening yang kini terasa begitu menyakitkan. Kupejamkan mata, membiarkan hujan deras turun di wajahku, saat itu aku sepenuhnya disadarkan bahwa betapa faqirnya aku setelah segala perhiasan kutanggalkan begitu saja. Aku sendirian, dalam pasrahku, membiarkan tubuhku limbung diantara porak poranda, memanggil satu nama: Tuhan! Tuhan! Hei Tuhan! Kau masih disana, bukan?
Dalam ketidakberdayaan aku mendapati bayangan-bayangan yang menari-nari di atasku itu terlalu nyata untuk disangsikan, baiklah, aku menerimanya, aku mempercayainya, penuh! Semua itu bagian dari diriku, setakut, semuak, sebenci apapun aku dengan semua itu. Monster-monster itu berpesta pora, meruntuhkan apa saja, aku tanpa perlawanan (karena sebenarnya aku sudah tidak punya sisa tenaga dan keberanian) hanya membiarkan, memang bisa apa aku?
Hatiku perlahan terasa kosong, seperti satu persatu yang sarat itu menguar secara magis. Ada masa yang hilang yang hanya terlihat seperti lembaran catatan kosong. Terkadang rasanya
terlalu aneh dan asing, menyaksikan monster itu meledak, menciptakan dentuman-dentuman keras, mengobrak-abrik kenangan-kenangan yang susah payah ditata
dan disimpan, ruang sunyi itu kini sudah sepenuhnya tidak lagi sunyi.
Sudah ku bilang bukan, bahwa
kekosongan itu menjadi ruang yang yang entah bagaimana kini terisi dengan ledakan-ledakan. Ruang
itu kosong lagipula, aku tak perlu takut akan ada yang hancur (naif sekali pikiranku ini awalnya). Tetapi, ledakan
tetaplah ledakan.
Betapa lucu jika mengingat bahwa
ledakan-ledakan itu terus terjadi, merembet dari satu ke yang lain, seperti
kembang api di langit malam satu Januari. Awalnya terasa menyakitkan, tetapi
lama kelamaan aku jadi kebas dan kebal, aku mulai terbiasa, akhirnya mati rasa seperti karang yang dihantam ombak. Jangan salah
sangka, aku masih tetap berwujud manusia sejauh ini, masih satu spesies denganmu.
Bagaimanapun setelah sederat
pesta ledakan itu selesai, monster-monster menjadi lebih jinak
setelah lelah mengamuk, mereka tidak lagi menyeramkan. Hening mengalun, menguar seperti asap di udara. Kekacauan tidak pernah begitu jelas seperti kinii, sejauh manik memandang, puing-puing berserakan, berhamburan, berantakan tak beraturan. Terlalu banyak. Jadi harus dari mana aku mulai
membereskan dan membersihkan semua kekacauan ini?
Aku terus bertanya dan terngungu
seperti mendadak dungu, benarkah ternyata sekacau ini? Sampai lupa bahwa
sesuatu tidak akan pernah bisa selesai jika bahkan kita tidak memulainya. Dan aku
sadar aku terlalu banyak mengutuk daripada memulai untuk memunguti
puing-puingnya, membereskan sedikit demi sedikit, setahap demi setahap hingga
semua kembali pada tempatnya: yang layak disimpan kembali, yang tidak harus
dibuang.
Padang sunyiku yang lapang kini tidak
hanya gelap, tapi juga luluh lantah, berantakan tak berupa, sungguh kacau yang
amat sempurna. Wow!
Aku sedang membereskannya
(setidaknya aku sedang berusaha untuk itu), sepertinya akan makan waktu dan
makan tenaga. Tapi katanya, tidak perlu terlalu terburu-buru, kalau capai boleh
rehat dulu asal kembali dilanjutkan setelah rehatnya cukup.
Setidaknya tapi… Aku diajarkan
waktu bahwa semua monster yang disembunyikan dipendam dalam-dalam
itu pasti mencari jalannya untuk keluar, meledak dan mengamuk. Kemarin-kemarin
aku terlalu sibuk untuk lari bersembunyi dan membangun benteng pertahanan,
menghindar agar tidak terluka, menjauh karena takut ikut hancur. Eh, ini manusiawi,
bukan?!
Seharusnya mungkin aku sedikit
lebih tenang dan percaya diri, bukan, bukan! Setidaknya aku harus lebih berani.
Monster itu mungkin bisa dijinakkan dengan sentuhan kesabaran dan ketulusan.
Dan mungkin padang sunyi itu
tidak akan gelap lagi, jika aku menyalakan cahaya.
Malam ini aku masih tidak bisa
terlelap, tenang tak kunjung datang. Aku kembali ke padang sunyiku (yang masih berantakan dan kacau itu), dan aku menemukan monster-monster yangg kini terlelap kelelahan itu nyatanya terasa begitu akrab buatku. Ku tatap lekat mereka tanpa jeda, menggerayangi setiap detailnya, sampai
rasanya bola mataku panas dan sebentar lagi melompat dari tempatnya. Huhu. Haha. Aku menangis sambil
tertawa.
Oh ayolah, ternyata mereka adalah aku.
0 komentar:
Posting Komentar