Dokumentasi Pribadi |
Tahun dua ribu dua satu memang
tidak menjadi tahun yang banyak mengundang tawa dan senyum, justru dominan
sesak dan patahnya yang aku rasa. Tahun yang mempertemukan aku pada kehilangan
dan memaksaku untuk berkenalan lebih dalam dengan ikhlas, ridha, dan melepaskan, tahun yang menuntun untuk melapangkan
hati lebih gila lagi dari sebelumnya. Tahun yang tidak hanya banyak turun hujan
di luar jendala, tapi juga di pelupuk mata. Tahun lalu di tanggal yang sama,
aku merayakan malam yang hujan sendirian dengan
pikiran yang lebih dari berantakan dan perasaan yang lebih dari patah hati tak karuan. Dari
mulai kehilangan rasa percaya kepada orang-orang yang awalnya paling dipercaya dan paling bisa diandalkan, kehilangan kepercayaan diri
untuk melangkah, kehilangan harapan karena berkali-kali dikecewakan, gagal
meraih mimpi meski rasanya sudah jungkir balik berjuang, gagal memenuhi ekspektasi diri dan orang-orang di sekitar, trauma
mendalam karena abusive experience dari tempat bekerja, hingga kehilangan orang
yang diekspektasikan akan menemani hingga akhir.
Aku memutuskan untuk rehat dari hampir semua hal yang aku lakukan sebelumnya; pekerjaan, relasi, dan mengisolasi diri dari dunia luar untuk sementara waktu. Bulan ke-5 aku kembali ke rumah, mendapati ada terlalu banyak borok bernanah yang tumbuh dimana-mana. Rumah selalu jadi tempat untuk aku bisa beristirahat, meletakkan sejenak semua beban di pundak, dan menenggelamkan sejenak semua hal yang riuh ricuh di kepala, tapi tidak untuk saat itu.
Rumah dalam bayangangku berubah menjadi
sebuah kastil terkutuk yang sudah lama ditinggal pergi penghuninya, usang,
bobrok, lembab, berantakan, dingin, sunyi, seram, dan gelap. Aku kira selama
aku pergi hampir tujuh tahun lamanya, semua berjalan baik-baik saja, tapi
ternyata tidak. Mendapati realita yang begitu mencengangkan saat itu, seperti
jiwaku copot; keluar dari raga saking syoknya.
Aku selalu percaya bahwa manusia itu didesain Allah dengan super duper canggih, bisa beradaptasi dalam banyak situasi yang berubah-ubah, punya daya pegas saat tertekan (baca; resiliensi), punya source ketabahan saat dihadapkan pada stressor, dan punya kemampuan pemecahan masalah yang kreatif juga. Aku selalu percaya tiap manusia punya modal semua itu, hanya mungkin berbeda-beda kapasitasnya. Aku juga percaya kalau diriku punya kemampuan itu, karena rasa-rasanya selama ini aku masih bisa survive saat dihadapkan kepada banyak ujian dan kesulitan hidup (iya aku kelewat pede sekali saat itu).
Dua ribu dua satu masalah datang bertubi-tubi dalam waktu berdekatan, seakan tidak mengizinkan aku untuk menarik nafas barang sejenak pun. Aku
diuji dalam hal yang selama ini aku anggap paling berharga buatku dan selalu
bisa jadi titik kuat sekaligus titik lemahku. BOOM! WOOOSH! DUAR! Aku sadar
akhirnya, aku tidak lebih manusia biasa yang saat itu limit kekuatannya belum
besar dan kesabarannya belum terlalu lebar. Ternyata benar pepatah para pemuka
yang mengatakan bahwa kita akan diuji pada hal yang berharga untuk kita dan
menjadi kelemahan untuk kita, sungguh aku baru saja mengalaminya lho! Haha…
Tahu rasanya terjebak di lumpur
hisap di tengah rawa? Tipikal tenggelam yang tidak langsung tenggelam seperti
tercebur ke air, ia menghisap kita perlahan dan kita sadar sedikit demi sedikit
kita terus tersedot kedalam sampai akhirnya benar-benar tenggelam. Mungkin itu analogi yang bisa menggambarkan
yang aku rasakan di tahun 2021. Dulu sebelum aku dihantam ujian bertubi, aku
melihat diriku berdiri penuh luka, iya dia terluka di sana sini tapi ia masih
berdiri dan terus berjalan. Lalu aku menemukan diriku tercabik-cabik, dia
berusaha setengah mati untuk tetap berdiri tapi kemudian badai datang dan dia
hilang, terbawa badai, terlempar dan tersesat entah kemana. Aku pikir aku sudah
cukup kuat untuk tetap berjalan menahan semuanya sendirian, tapi nyatanya aku
tidak sekeren itu.
Pernah ada malam-malam tanpa
pejam, lelah sekali meladeni ribut yang tak kunjung henti di dalam kepala,
engap sekali menahan sesak di dada, seperti sebongkah batu ditimpakan disana. Ragaku
diam, tapi pikiran dan perasaanku berperang hebat, kalaupun pada akhirnya sisa
logika dan kewarasanku berhasil menjadi wasit dan membiarkan salah
satunya menang (untuk sementara), kemenangan itu pada akhirnya hanya akan
melukai yang lainnya, untuk kemudian menciptakan pertempuran-pertempuran lainnya. Jadi
pada dasarnya, aku seperti terjebak dalam pertempuran tanpa akhir antara diriku
dengan diriku. Paham maksudnya, kan?! Aku hanya ingin rehat, aku benar-benar terlampau lelah, merasa sekarat, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk beristirahat.
Ada pula masa-masa dimana aku benar-benar lari (secara eksplisit dan implisit) karena saking muak dan lelahnya dengan realita, sedikit berharap mendapat distraksi dan solusi. Untungnya aku sudah belajar bahwa kekecewaan lahir karena ekspektasi kita sendiri, jadi aku berusaha mengendalikan ekspektasiku, sekacau apapun aku saat itu. Bertemu banyak orang, berada pada suasana baru, awalnya lumayan membantu tapi hanya menjadi distraksi temporer saja. Seperti membalut luka dengan perban, tapi sebenarnya jauh di dalamnya terlanjur borok dan infeksi. Pada akhirnya tangisnya reda, tapi sakitnya masih kuat berdenyut dan sesaknya tetap ada. Seribu kata-kata bijak dan ceramah hanya terasa seperti angin yang mengusap muka, sesi konseling berjam-jam lamanya terasa hanya berputar pada hal yang sama. Lelah sekali mengulang-ngulang kembali rasa sakit dan luka yang selama ini mati-matian disembunyikan.
Tiap orang punya masalah dan struggle tersendiri, hanya karena seseorang tidak bisa sesuatu yang kita bisa, bukan berarti kita lebih baik dari mereka, pun
sebaliknya. Aku jadi belajar hal itu. Aku pernah ada di titik dimana aku tidak
tahu harus pergi kemana, harus berbuat apa, harus menjadi apa, dan aku
benar-benar merasa asing dengan diriku sendiri. Semua rasa percaya diri dan
esteem menguap entah kemana (mungkin kamu juga pernah?). Aku merasa munafik
sekali mengatakan “Love yourself” karena sebenarnya aku pun tidak benar-benar paham apa itu
mencintai diri sendiri? Bagaimana caranya? Seperti apa konkretnya? Aku jadi
takut, apakah jangan-jangan yang aku tampilkan di depan orang-orang selama ini hanya topeng belaka? Aku yang orang-orang lihat sebagai seseorang yang penuh
percaya diri, punya drive yang tinggi, dan selalu ceria. Bagaimana kalau
ternyata aku yang sebenarnya justru kebalikan dari itu semua? Berbagai keraguan
akhirnya muncul, menjelma menjadi monster mengerikan yang perlahan melahapku
luar dan dalam.
Kenapa aku? Kenapa harus aku? Kenapa
harus begini? Kenapa orang-orang terlihat begitu mudah hidupnya sedangkan aku
harus sebegini sulitnya? Pertanyaan itu mulai menggerayangi jiwa yang gersang
dan mental yang terlanjur ancur-ancuran.
“I move along, something’s wrong, I guess a part of me is gone….
Tired soul, dying hope, I guess Im running out of road, I guess I’ve
got nowhere…
Feels like Im dying, feels like Im lying to my self, I know that Im
trying, but it feels like Im in hell…
Sometimes I just wanna quit, tell my life Im done with it, when it
feels too painful…
Someday I just wanna say, I love myself but not today, when it feels
too painful, I smash my broken heart of gold…”
(Broken Heart of Gold – One Ok Rock) -Lagu yang rasanya paling bisa menggambarkan-.
Aku sampai di titik bahwa aku
benar-benar merasa hanya butiran debu (dalam makna yang sesungguhnya). Kecil,
tak berguna, tak layak, dan tak berharga. Selama ini esteemku selalu merasa
tersakiti ketika ada orang lain yang mengasihaniku, oleh karenanya aku benci
dikasihani. Tapi tahukah kalau ada level
yang lebih menyakitkan daripada dikasihani oleh orang lain? Ya,
dikasihani diri sendiri. Kenapa sakit sekali rasanya, karena ketika kita di
tahap kita mengasihani diri sendiri berarti kita sadar betul kalau saat itu
diri kita sedang berada pada titik paling rendah dan paling sulit, feels helpless dan hopeless, dan itu rasanya sudah di paling ujung limit kita
mentoleransi luka. Kita paham bahwa kita sudah menahan dan memaksakan diri
sejauh itu, berusaha sekeras itu, tapi keadaan yang dihadapi tidak juga
sedikitpun menunjukan kemurahan dan belas kasih.
Pasrah. Iya. Hanya bisa pasrah. Sadar
betul selama masalah menghantam bertubi itu, rasanya aku masih cukup ponggah
untuk berpikir bahwa “Aku bisa sendiri, aku kuat, aku pasti bisa melewatinya
seperti yang sudah-sudah”. Lupa kalau aku punya Allah. Lupa kalau Tuhanku itu
Maha Keren, nggak pernah gagal nolongin dan nggak pernah meninggalkanku. Dalam kepasrahan
di sisa diri yang hancur porak poranda, aku serahkan semua urusanku, kealphaan
diriku, kejatuhan hidupku, dan keruwetan permasalahanku kepada-Nya. Aku banyak
dikecewakan dan ditinggalkan manusia, dikhianati realita dan diledeki
ekspektasi, mungkinkah karena aku lebih
banyak bergantung kepada selain-Nya selama ini? Karena hidup tidak selalu
tetap. Orang-orang akan berubah, orang-orang akan pergi, tapi Allah tidak.
Allah itu tetap, kekal, dan selalu ada.
Dalam obrolan hampir dua jam
lamanya di tengah malam dengan seorang kawan di Yogya, akhirnya aku mengakui
bahwa memang aku terluka dan jauh dari baik-baik saja. Aku menerima
akhirnya bahwa aku lemah dan bisa tidak berdaya saat itu. Sebuah hal
yang akhirnya keluar dengan suka rela setelah sebelumnya selalu aku
tutup-tutupi, menjadi lemah itu aib dan bukan hal yang bagus, kan? (itu tadinya
pendirianku) jadi meski aku tidak baik-baik saja aku akan berusaha menutup lukanya
dengan segala cara agar orang tidak perlu melihat. Apakah dengan
menerima semuanya selesai begitu saja? Haha inginnya begitu tapi sayangnya
tidak. Menerima bahwa diriku memang terluka, sedang tidak baik-baik saja tidak
lantas menjadikan validasi bahwa diriku harus selamanya tidak baik-baik saja,
kan?!
Dalam obrolan selama tiga setengah jam di sore hari pada penghujung tahun bersama seorang kawan di Bandung, aku akhirnya mendapati lagi diriku harus bergerak, melepaskan, dan mengikhlaskan. Untuk tidak perlu lagi mencari jawaban “Why me?” agar bisa melepaskan semua kenangan buruk dan traumatis itu sebagai bagian dari diriku dan mencoba berdamai dengannya. Iya benar sekali rasanya sakit, rasanya tidak enak, rasanya tidak mudah, tapi apakah lantas aku harus terus berfokus pada rasa sakitnya saja terus menerus? Bukankah aku layak untuk hidup dengan lebih baik? Bukankah aku layak untuk sembuh? Aku melepaskan sedikit demi sedikit dendam dan amarah yang ada di hatiku, dendam kepada realita yang banyak mengkhianati, amarah kepada diri sendiri dan kepada orang-orang yang telah menyakiti, melepaskan semuanya demi ketenangan diriku. Mengikhlaskan demi kelegaan diriku. Tidak lagi menaruh ekspektasi terlalu tinggi, tidak perlu lagi overthinking pada hal-hal yang tidak bisa kukendalikan. Aku tidak pernah bisa mengubah orang lain tapi aku bisa mengendalikan ekspektasi dan responku pada orang lain, ingat baik-baik, okay?!
KENAPA HARUS AKU YANG MENGALAMI SEMUA INI? Bagaimana kalau ternyata memang itu tidak beralasan khusus, memang hanya harus aku saja yang mengalami semua itu. Memang seharusnya aku gagal, aku jatuh, dqn aku diuji. Memang seharusnya itu terjadi seperti itu dalam skenario yang Allah tulis untukku. Selama ini aiu tumbuh menjadi manusia yang banyak berhasil dan takut gagal (setelah ku resap lagi perjalanan hidupku). Aku selalu bilang pada diriku kalau kamu harus berhasil dan aku benar berhasil (atas Izin Allah), tapi ternyata keberhasilan itu diperjuangkan mati-matian bukan karena ingin berhasil, tapi karena takut gagal. Dan kemarin ujian yang Allah beri salah satunya adalah kegagalan (which is the scariest thing in my life).
Setelahnya jadi paham, semua orang
pernah gagal, tidak apa-apa untuk gagal. Menghindari kegagalan itu omong
kosong, bahkan jika aku berhasil mencapai keberhasilan, tidak pernah ada
jaminan aku tidak akan gagal setelahnya. Ketika gagal hari ini, pada akhirnya
semua itu akan berlalu, kita akan melewatinya dan berdiri lagi seperti yang
sudah-sudah. Kapan bisa berdiri lagi, itu diri kita sendiri yang menentukan. Jadi,
bagaimana kalau sekarang aku memutuskan untuk berdiri lagi? Ide bagus, kan?! Dan
lagi kalau kata Pak Suyadi dalam Narasi 2021 karya Tenderlova, mau seratus, seribu,
atau sejuta kali pun kita gagal, pada akhirnya kita bakal berhasil. Berhasil
untuk jadi manusia yang tidak mudah menyerah pada satu titik gagal dan titik
sulit dalam hidup. Well said.
Chapter mengikhlaskan akan
menjadi bagian paling berdarah-darah dari perjalananku menemukan jalan pulang,
karena sungguh, berani sumpah, itu sama sekali tidak mudah. Dalam prosesnya
bukan hanya harus bisa menerima dan berdamai dengan diri dan realita (beserta
semua yang ada didalamnya), tapi juga harus punya kesabaran luar bisa
ekstra. Bukan lagi double atau triple, tapi mungkin quintuple atau bahkan
centuple. Prosesnya tidak bisa diburu-buru dan dalam perjalanannya bukan tidak
mungkin akan terluka lagi. Tapi, kalaupun terluka lagi bukankah kesempatan
untuk bisa sembuh itu selalu ada?! Tiap orang sepertinya punya cara tersendiri
untuk berdamai dan melerai pertikaian dalam dirinya, dan caraku adalah dengan meminta
pendampingan Allah dalam tiap pertempuranku melawan diriku, dalam tiap usahaku untuk
menenangkan riuh hatiku. Mengingat bahwa aku hanya hamba, berprasangka baik
bahwa Allah akan mengganti semua lara dengan hal-hal baik dan kebahagiaan
karena aku pantas untuk itu, membiarkan diriku rehat dengan menyadari penuh
semua yang aku punya, semua yang ada, semua yang dikirimkanNya selama ini
selalu lebih dari cukup untuk bisa disyukuri dan dinikmati dengan layak. Hidup berputar, kemarib mungkin aku sedang di bawah, dan kini aku sedang dalam usahaku untuk memutarnya agar tidak selamanya di bawah.
Dalam sebuah film aku pernah
mendengar kutipqn tentang Teori Kuantitas Penderitaan; tiap orang punya
jatah dan kuantitas sedih & bahagianya masing-masing, ketika kesedihan
ditimpakan terus menerus hingga limit kuantitasnya, maka tinggal jatah
kebahagiaan yang tersisa. Marilah berprasangka baik bahwa cukuplah air mata dan
kesedihan yang kuterima sepanjang tahun lalu merupakan bagian dari cara menguras
jatah sedihku, hingga tinggal jatah kebahagiaan yang banyak tersisa untuk dirayakan. Semoga.
Tanggal dua puluh enam bulan enam tahun dua ribu dua puluh dua ini aku bersyukur sekali, atas cinta dan afeksi yang masih mengalir dari orang-orang tulus dan baik, dari keberadaan orang-orang terkasih di sisiku, dari kesehatan yang terasa begitu nikmat, pagi yang tenang, siang yang teduh, dan malam yang sejuk. Merayakan kehidupan yang sangat berharga dan layak diperjuangkan dengan sepanci opor ayam yang dimasak dengan suka cita. Mendengar lantunan doa-doa yang tulus dari orang-orang terdekat, berkutat dengan bacaan dan lagu-lagu favorit sebelum tidur, menyambut pekerjaan yang sudah datang dan yang akan dikerjakan, aktivitas yang tidak begitu padat sehingga menyisakan waktu untuk menikmati petang dalam obrolan ringan dengan orang rumah sembari mengelus kucing kesayangan di depan perapian.
Masalahnya mungkin tidak sepenuhnya selesai, siapa bilang juga lukanya sudah benar-benar sembuh, tapi aku hanya ingin menikmati hangatnya hidup saat ini sembari memeluk diriku yang sudah banyak kulukai dan kumusuhi beberapa waktu sebelumnya. Selamat ulang tahun Rina Parliya! Hari ini tanggal 26 bulan 6 yang ke-26, semoga lebih banyak hal baik berdatangan. Be happier, you deserve it. Now is your turn to comeback with new chapter, dont be afraid when a door is closed, let's find & open another one, right?!
0 komentar:
Posting Komentar