Kamis, 30 November 2017

Before Dawn

Saat kereta itu mulai meringik bergerak perlahan, lalu berlari meneriaki rembulan dengan suara lolongannya yang tajam, terus melesat membelah malam yang kesepian. aku tahu kau diluar statsiun juga berlari mengejar kereta ini, dan aku cuma duduk menatapmu nanar dari jendela sambil melambaikan tangan dan menyumbang senyum pilu. Kamu tetap keukeuh berlari, memaksa kakimu bergerak mencapai kereta itu. Tapi secepat apapun kakimu berlari, kereta itu nampaknya tak memiliki niat untuk berhenti untuk sekedar mengizinkan kita saling bertukar kata perpisahan. setelah itu kamu benar-benar menghilang dari pandanganku, tersamarkan malam. Yang nampak cuma rel panjang yang berkilau oleh cahaya rembulan. Begitulah kereta ini terus berlari membawaku, menyusuri ladang-ladang jagung yang muram, menenggelamkan aku dalam perjalanan panjang menuju kota kelahiran Salomon dengan semua kilaunya yang membutakan dan melupakan. itu sudah berlalu berapa tahun? empat atau lima tahun? Tapi rasanya seperti baru saja malam kemarin. Malam ini aku tiba-tiba mengingatmu Adam, mengingatmu penuh luka namun tanpa air mata. Seperti rindu yang membiru itu berkorelasi dengan rasa perih yang sudah biasa kutoleransi. Hingga akhirnya aku tak mampu membedakan warna cerah  bahagia dengan warna muram kepedihan. Semuanya terasa sama. aku sudah mati rasa merindumu tapi sialnya aku belum juga bisa berhenti mencintaimu.

Hujan turun lagi sore ini, setelah pertemuan dengan editor aku pun memutuskan untuk membawa semua pekerjaan ke rumah. Malam ini aku tidak mau mati kedinginan sembari bekerja di kantor karena aku tidak yakin pemanas ruangannya sudah berfungsi lagi. Setelah berpamitan kepada Ellen dan Tuan Hermes, aku pun bergegas menuruni tangga. 
Ah aku melupakan payungku lagi nampaknya pagi ini sebelum berangkat. Aku masih sama cerobohnya seperti dulu Adam, tapi dulu ketika kita bersama aku tahu kau akan selalu berdiri di depan gerbang dengan payung birumu, kemudian kita berjalan berangkulan menembus hujan melewati Bringsworth Alley sambil menertawakan anak-anak pemilik toko roti bermain air dibawah derasnya hujan. Sekarang aku harus menunggu hujannya reda atau berlari sendiri menerobos hujan dengan resiko terkena pilek lagi setelahnya.
Oh bahkan hal sekecil ini pun membuatku merindukanmu, Adam.

"Tidak bawa payung lagi, huh?" tanya Luke yang entah sejak kapan sudah berdiri seperempat meter disampingku.
Aku hanya tersenyum kecut. 
"Mau pakai ini?" dia menyodorkan payung hitamnya padaku.
"Oh, tidak usah terima kasih, bukankah kau juga akan pakai itu untuk pulang?" 
"Aku punya ini, tidak usah khawatir!" dia menyodorkan payungnya ke tanganku dan kemudian dia memayungi dirinya dengan jubahnya lalu berlalu begitu saja dalam hujan.
"Tidak! Luke, tunggu!" teriakku sia-sia karena dia sudah lari semakin jauh menembus hujan.
Selalu saja seperti itu. tiba-tiba aku membenci diriku yang amat teledor ini.
(Dalam "Before Dawn" oleh Kinoy Sora, 2017)