Minggu, 26 Juni 2022

26 yang ke-26: Perjalanan dalam Menerima dan Mengikhlaskan.

Dokumentasi Pribadi

Semalam, setelah selesai dengan bacaan favoritku di Wattpad, seperti biasa ada sesi satu jam untuk kepalaku bergerilya memikirkan ini dan itu (ini sudah jadi rutinitas sebelum tidur). Satu jam sebelum jam 00, aku bengong memandang kosong pada angka 11:05, June 25 di layar gawai, berbagai perasaan nostalgia lamat-lamat merambat, mengisi celah-celah kosong. Flashback rasanya ke tanggal 26 Juni tahun kemarin yang dilalui dengan gontai dan sekarat, bukan sekedar babak belur, tapi hancur lebur seperti sebuah guci yang dilindas tank (perumpaannya agak aneh tapi itulah yang sekarang terlintas di otakku). Tahun ini aku menemui diriku lagi di tanggal dua enam pada bulan ke-enam, di hitungan usia yang ke dua enam juga. Terima kasih Allah, aku merasa diajak tumbuh dan dijaga dari banyak hal buruk dari tanggal 26 ke tanggal 26 lagi. 

Tahun dua ribu dua satu memang tidak menjadi tahun yang banyak mengundang tawa dan senyum, justru dominan sesak dan patahnya yang aku rasa. Tahun yang mempertemukan aku pada kehilangan dan memaksaku untuk berkenalan lebih dalam dengan ikhlas, ridha, dan melepaskan, tahun yang menuntun untuk melapangkan hati lebih gila lagi dari sebelumnya. Tahun yang tidak hanya banyak turun hujan di luar jendala, tapi juga di pelupuk mata. Tahun lalu di tanggal yang sama, aku merayakan malam yang hujan sendirian dengan pikiran yang lebih dari berantakan dan perasaan yang lebih dari patah hati tak karuan. Dari mulai kehilangan rasa percaya kepada orang-orang yang awalnya paling dipercaya dan paling bisa diandalkan, kehilangan kepercayaan diri untuk melangkah, kehilangan harapan karena berkali-kali dikecewakan, gagal meraih mimpi meski rasanya sudah jungkir balik berjuang, gagal memenuhi ekspektasi diri dan orang-orang di sekitar, trauma mendalam karena abusive experience dari tempat bekerja, hingga kehilangan orang yang diekspektasikan akan menemani hingga akhir.

Aku memutuskan untuk rehat dari hampir semua hal yang aku lakukan sebelumnya; pekerjaan, relasi, dan mengisolasi diri dari dunia luar untuk sementara waktu. Bulan ke-5 aku kembali ke rumah, mendapati ada terlalu banyak borok bernanah yang tumbuh dimana-mana. Rumah selalu jadi tempat untuk aku bisa beristirahat, meletakkan sejenak semua beban di pundak, dan menenggelamkan sejenak semua hal yang riuh ricuh di kepala, tapi tidak untuk saat itu. 

Rumah dalam bayangangku berubah menjadi sebuah kastil terkutuk yang sudah lama ditinggal pergi penghuninya, usang, bobrok, lembab, berantakan, dingin, sunyi, seram, dan gelap. Aku kira selama aku pergi hampir tujuh tahun lamanya, semua berjalan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Mendapati realita yang begitu mencengangkan saat itu, seperti jiwaku copot; keluar dari raga saking syoknya.

Aku selalu percaya bahwa manusia itu didesain Allah dengan super duper canggih, bisa beradaptasi dalam banyak situasi yang berubah-ubah, punya daya pegas saat tertekan (baca; resiliensi), punya source ketabahan saat dihadapkan pada stressor, dan punya kemampuan pemecahan masalah yang kreatif juga. Aku selalu percaya tiap manusia punya modal semua itu, hanya mungkin berbeda-beda kapasitasnya. Aku juga percaya kalau diriku punya kemampuan itu, karena rasa-rasanya selama ini aku masih bisa survive saat dihadapkan kepada banyak ujian dan kesulitan hidup (iya aku kelewat pede sekali saat itu). 

Dua ribu dua satu masalah datang bertubi-tubi dalam waktu berdekatan, seakan tidak mengizinkan aku untuk menarik nafas barang sejenak pun. Aku diuji dalam hal yang selama ini aku anggap paling berharga buatku dan selalu bisa jadi titik kuat sekaligus titik lemahku. BOOM! WOOOSH! DUAR! Aku sadar akhirnya, aku tidak lebih manusia biasa yang saat itu limit kekuatannya belum besar dan kesabarannya belum terlalu lebar. Ternyata benar pepatah para pemuka yang mengatakan bahwa kita akan diuji pada hal yang berharga untuk kita dan menjadi kelemahan untuk kita, sungguh aku baru saja mengalaminya lho! Haha…

Tahu rasanya terjebak di lumpur hisap di tengah rawa? Tipikal tenggelam yang tidak langsung tenggelam seperti tercebur ke air, ia menghisap kita perlahan dan kita sadar sedikit demi sedikit kita terus tersedot kedalam sampai akhirnya benar-benar tenggelam. Mungkin itu analogi yang bisa menggambarkan yang aku rasakan di tahun 2021. Dulu sebelum aku dihantam ujian bertubi, aku melihat diriku berdiri penuh luka, iya dia terluka di sana sini tapi ia masih berdiri dan terus berjalan. Lalu aku menemukan diriku tercabik-cabik, dia berusaha setengah mati untuk tetap berdiri tapi kemudian badai datang dan dia hilang, terbawa badai, terlempar dan tersesat entah kemana. Aku pikir aku sudah cukup kuat untuk tetap berjalan menahan semuanya sendirian, tapi nyatanya aku tidak sekeren itu.

Pernah ada malam-malam tanpa pejam, lelah sekali meladeni ribut yang tak kunjung henti di dalam kepala, engap sekali menahan sesak di dada, seperti sebongkah batu ditimpakan disana. Ragaku diam, tapi pikiran dan perasaanku berperang hebat, kalaupun pada akhirnya sisa logika dan kewarasanku berhasil menjadi wasit dan membiarkan salah satunya menang (untuk sementara), kemenangan itu pada akhirnya hanya akan melukai yang lainnya, untuk kemudian menciptakan pertempuran-pertempuran lainnya. Jadi pada dasarnya, aku seperti terjebak dalam pertempuran tanpa akhir antara diriku dengan diriku. Paham maksudnya, kan?! Aku hanya ingin rehat, aku benar-benar terlampau lelah, merasa sekarat, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk beristirahat. 

Ada pula masa-masa dimana aku benar-benar lari (secara eksplisit dan implisit) karena saking muak dan lelahnya dengan realita, sedikit berharap mendapat distraksi dan solusi. Untungnya aku sudah belajar bahwa kekecewaan lahir karena ekspektasi kita sendiri, jadi aku berusaha mengendalikan ekspektasiku, sekacau apapun aku saat itu. Bertemu banyak orang, berada pada suasana baru, awalnya lumayan membantu tapi hanya menjadi distraksi temporer saja. Seperti membalut luka dengan perban, tapi sebenarnya jauh di dalamnya terlanjur borok dan infeksi. Pada akhirnya tangisnya reda, tapi sakitnya masih kuat berdenyut dan sesaknya tetap ada. Seribu kata-kata bijak dan ceramah hanya terasa seperti angin yang mengusap muka, sesi konseling berjam-jam lamanya terasa hanya berputar pada hal yang sama. Lelah sekali mengulang-ngulang kembali rasa sakit dan luka yang selama ini mati-matian disembunyikan.

Tiap orang punya masalah dan struggle tersendiri, hanya karena seseorang tidak bisa sesuatu yang kita bisa, bukan berarti kita lebih baik dari mereka, pun sebaliknya. Aku jadi belajar hal itu. Aku pernah ada di titik dimana aku tidak tahu harus pergi kemana, harus berbuat apa, harus menjadi apa, dan aku benar-benar merasa asing dengan diriku sendiri. Semua rasa percaya diri dan esteem menguap entah kemana (mungkin kamu juga pernah?). Aku merasa munafik sekali mengatakan “Love yourself” karena sebenarnya aku pun tidak benar-benar paham apa itu mencintai diri sendiri? Bagaimana caranya? Seperti apa konkretnya? Aku jadi takut, apakah jangan-jangan yang aku tampilkan di depan orang-orang selama ini hanya topeng belaka? Aku yang orang-orang lihat sebagai seseorang yang penuh percaya diri, punya drive yang tinggi, dan selalu ceria. Bagaimana kalau ternyata aku yang sebenarnya justru kebalikan dari itu semua? Berbagai keraguan akhirnya muncul, menjelma menjadi monster mengerikan yang perlahan melahapku luar dan dalam.

Kenapa aku? Kenapa harus aku? Kenapa harus begini? Kenapa orang-orang terlihat begitu mudah hidupnya sedangkan aku harus sebegini sulitnya? Pertanyaan itu mulai menggerayangi jiwa yang gersang dan mental yang terlanjur ancur-ancuran.

“I move along, something’s wrong, I guess a part of me is gone….

Tired soul, dying hope, I guess Im running out of road, I guess I’ve got nowhere…

Feels like Im dying, feels like Im lying to my self, I know that Im trying, but it feels like Im in hell…

Sometimes I just wanna quit, tell my life Im done with it, when it feels too painful…

Someday I just wanna say, I love myself but not today, when it feels too painful, I smash my broken heart of gold…”

(Broken Heart of Gold – One Ok Rock) -Lagu yang rasanya paling bisa menggambarkan-.

Aku sampai di titik bahwa aku benar-benar merasa hanya butiran debu (dalam makna yang sesungguhnya). Kecil, tak berguna, tak layak, dan tak berharga. Selama ini esteemku selalu merasa tersakiti ketika ada orang lain yang mengasihaniku, oleh karenanya aku benci dikasihani.  Tapi tahukah kalau ada level yang lebih menyakitkan daripada dikasihani oleh orang lain? Ya, dikasihani diri sendiri. Kenapa sakit sekali rasanya, karena ketika kita di tahap kita mengasihani diri sendiri berarti kita sadar betul kalau saat itu diri kita sedang berada pada titik paling rendah dan paling sulit, feels helpless dan hopeless, dan itu rasanya sudah di paling ujung limit kita mentoleransi luka. Kita paham bahwa kita sudah menahan dan memaksakan diri sejauh itu, berusaha sekeras itu, tapi keadaan yang dihadapi tidak juga sedikitpun menunjukan kemurahan dan belas kasih. 

Pasrah. Iya. Hanya bisa pasrah. Sadar betul selama masalah menghantam bertubi itu, rasanya aku masih cukup ponggah untuk berpikir bahwa “Aku bisa sendiri, aku kuat, aku pasti bisa melewatinya seperti yang sudah-sudah”. Lupa kalau aku punya Allah. Lupa kalau Tuhanku itu Maha Keren, nggak pernah gagal nolongin dan nggak pernah meninggalkanku. Dalam kepasrahan di sisa diri yang hancur porak poranda, aku serahkan semua urusanku, kealphaan diriku, kejatuhan hidupku, dan keruwetan permasalahanku kepada-Nya. Aku banyak dikecewakan dan ditinggalkan manusia, dikhianati realita dan diledeki ekspektasi, mungkinkah karena aku lebih banyak bergantung kepada selain-Nya selama ini? Karena hidup tidak selalu tetap. Orang-orang akan berubah, orang-orang akan pergi, tapi Allah tidak. Allah itu tetap, kekal, dan selalu ada.

Dalam obrolan hampir dua jam lamanya di tengah malam dengan seorang kawan di Yogya, akhirnya aku mengakui bahwa memang aku terluka dan jauh dari baik-baik saja. Aku menerima akhirnya bahwa aku lemah dan bisa tidak berdaya saat itu. Sebuah hal yang akhirnya keluar dengan suka rela setelah sebelumnya selalu aku tutup-tutupi, menjadi lemah itu aib dan bukan hal yang bagus, kan? (itu tadinya pendirianku) jadi meski aku tidak baik-baik saja aku akan berusaha menutup lukanya dengan segala cara agar orang tidak perlu melihat. Apakah dengan menerima semuanya selesai begitu saja? Haha inginnya begitu tapi sayangnya tidak. Menerima bahwa diriku memang terluka, sedang tidak baik-baik saja tidak lantas menjadikan validasi bahwa diriku harus selamanya tidak baik-baik saja, kan?!

Dalam obrolan selama tiga setengah jam di sore hari pada penghujung tahun bersama seorang kawan di Bandung, aku akhirnya mendapati lagi diriku harus bergerak, melepaskan, dan mengikhlaskan. Untuk tidak perlu lagi mencari jawaban “Why me?” agar bisa melepaskan semua kenangan buruk dan traumatis itu sebagai bagian dari diriku dan mencoba berdamai dengannya. Iya benar sekali rasanya sakit, rasanya tidak enak, rasanya tidak mudah, tapi apakah lantas aku harus terus berfokus pada rasa sakitnya saja terus menerus? Bukankah aku layak untuk hidup dengan lebih baik? Bukankah aku layak untuk sembuh? Aku melepaskan sedikit demi sedikit dendam dan amarah yang ada di hatiku, dendam kepada realita yang banyak mengkhianati, amarah kepada diri sendiri dan kepada orang-orang yang telah menyakiti, melepaskan semuanya demi ketenangan diriku. Mengikhlaskan demi kelegaan diriku. Tidak lagi menaruh ekspektasi terlalu tinggi, tidak perlu lagi overthinking pada hal-hal yang tidak bisa kukendalikan. Aku tidak pernah bisa mengubah orang lain tapi aku bisa mengendalikan ekspektasi dan responku pada orang lain, ingat baik-baik, okay?!

KENAPA HARUS AKU YANG MENGALAMI SEMUA INI? Bagaimana kalau ternyata memang itu tidak beralasan khusus, memang hanya harus aku saja yang mengalami semua itu. Memang seharusnya aku gagal, aku jatuh, dqn aku diuji. Memang seharusnya itu terjadi seperti itu dalam skenario yang Allah tulis untukku. Selama ini aiu tumbuh menjadi manusia yang banyak berhasil dan takut gagal (setelah ku resap lagi perjalanan hidupku). Aku selalu bilang pada diriku kalau kamu harus berhasil dan aku benar berhasil (atas Izin Allah), tapi ternyata keberhasilan itu diperjuangkan mati-matian bukan karena ingin berhasil, tapi karena  takut gagal. Dan kemarin ujian yang Allah beri salah satunya adalah kegagalan (which is the scariest thing in my life).  

Setelahnya jadi paham, semua orang pernah gagal, tidak apa-apa untuk gagal. Menghindari kegagalan itu omong kosong, bahkan jika aku berhasil mencapai keberhasilan, tidak pernah ada jaminan aku tidak akan gagal setelahnya. Ketika gagal hari ini, pada akhirnya semua itu akan berlalu, kita akan melewatinya dan berdiri lagi seperti yang sudah-sudah. Kapan bisa berdiri lagi, itu diri kita sendiri yang menentukan. Jadi, bagaimana kalau sekarang aku memutuskan untuk berdiri lagi? Ide bagus, kan?! Dan lagi kalau kata Pak Suyadi dalam Narasi 2021 karya Tenderlova, mau seratus, seribu, atau sejuta kali pun kita gagal, pada akhirnya kita bakal berhasil. Berhasil untuk jadi manusia yang tidak mudah menyerah pada satu titik gagal dan titik sulit dalam hidup. Well said.

Chapter mengikhlaskan akan menjadi bagian paling berdarah-darah dari perjalananku menemukan jalan pulang, karena sungguh, berani sumpah, itu sama sekali tidak mudah. Dalam prosesnya bukan hanya harus bisa menerima dan berdamai dengan diri dan realita (beserta semua yang ada didalamnya), tapi juga harus punya kesabaran luar bisa ekstra. Bukan lagi double atau triple, tapi mungkin quintuple atau bahkan centuple. Prosesnya tidak bisa diburu-buru dan dalam perjalanannya bukan tidak mungkin akan terluka lagi. Tapi, kalaupun terluka lagi bukankah kesempatan untuk bisa sembuh itu selalu ada?! Tiap orang sepertinya punya cara tersendiri untuk berdamai dan melerai pertikaian dalam dirinya, dan caraku adalah dengan meminta pendampingan Allah dalam tiap pertempuranku melawan diriku, dalam tiap usahaku untuk menenangkan riuh hatiku. Mengingat bahwa aku hanya hamba, berprasangka baik bahwa Allah akan mengganti semua lara dengan hal-hal baik dan kebahagiaan karena aku pantas untuk itu, membiarkan diriku rehat dengan menyadari penuh semua yang aku punya, semua yang ada, semua yang dikirimkanNya selama ini selalu lebih dari cukup untuk bisa disyukuri dan dinikmati dengan layak. Hidup berputar, kemarib mungkin aku sedang di bawah, dan kini aku sedang dalam usahaku untuk memutarnya agar tidak selamanya di bawah.

Dalam sebuah film aku pernah mendengar kutipqn tentang Teori Kuantitas Penderitaan; tiap orang punya jatah dan kuantitas sedih & bahagianya masing-masing, ketika kesedihan ditimpakan terus menerus hingga limit kuantitasnya, maka tinggal jatah kebahagiaan yang tersisa. Marilah berprasangka baik bahwa cukuplah air mata dan kesedihan yang kuterima sepanjang tahun lalu merupakan bagian dari cara menguras jatah sedihku, hingga tinggal jatah kebahagiaan yang banyak tersisa untuk dirayakan. Semoga.

Tanggal dua puluh enam bulan enam tahun dua ribu dua puluh dua ini aku bersyukur sekali, atas cinta dan afeksi yang masih mengalir dari orang-orang tulus dan baik, dari keberadaan orang-orang terkasih di sisiku, dari kesehatan yang terasa begitu nikmat, pagi yang tenang, siang yang teduh, dan malam yang sejuk. Merayakan kehidupan yang sangat berharga dan layak diperjuangkan dengan sepanci opor ayam yang dimasak dengan suka cita. Mendengar lantunan doa-doa yang tulus dari orang-orang terdekat, berkutat dengan bacaan dan lagu-lagu favorit sebelum tidur, menyambut pekerjaan yang sudah datang dan yang akan dikerjakan, aktivitas yang tidak begitu padat sehingga menyisakan waktu untuk menikmati petang dalam obrolan ringan dengan orang rumah sembari mengelus kucing kesayangan di depan perapian. 

Masalahnya mungkin tidak sepenuhnya selesai, siapa bilang juga lukanya sudah benar-benar sembuh, tapi aku hanya ingin menikmati hangatnya hidup saat ini sembari memeluk diriku yang sudah banyak kulukai dan kumusuhi beberapa waktu sebelumnya. Selamat ulang tahun Rina Parliya! Hari ini tanggal 26 bulan 6 yang ke-26, semoga lebih banyak hal baik berdatangan. Be happier, you deserve it. Now is your turn to comeback with new chapter, dont be afraid when a door is closed, let's find & open another one, right?!






Minggu, 06 Maret 2022

Pemberhentian Terakhir

Source: Twitter
Source: Twitter


Bulan berganti, dari semua bulan, Maret punya cerita khusus buatku, karena di bulan ini tiga tahun lalu, aku mengawali hidup baru jauh beratus kilometer dari kamar empat meter persegiku. Maret juga mengingatkan pada titik awal aku merelakan yang sempat singgah, menanam banyak harap, kemudian pergi tanpa menyampaikan sebaris pun salam penutup. 

Kereta Lodaya Gerbong 4 kursi 6D & 6E aku masih ingat betul, kita duduk bersebelahan. Pertemuan kita dalam perjalanan itu bukan hal yang sengaja dan sama sekali tidak pernah terduga sebelumnya. Dalam jarak yang begitu dekat, diam menyekat, terasa agak sesak saat terhirup. Aku mengawali  dengan pertanyaan basa-basi yang tidak begitu menggugah “Ibu, apa kabar dia?” butuh jeda lima detik untuk kau menjawab dengan pelan dan suara agak bergetar “Dia baik, tensinya masih naik turun, tapi sekarang dia baik” aku tidak menyaut, hanya mengangguk. Untuk sekian menit setelahnya hanya terdengar gemuruh mesin kereta dan obrolan dua perempuan yang duduk tepat di bangku sebrang lorong kursi kita.

“Kamu sekarang, sibuk apa?” tanyamu datar.

Sibuk menerka dan memikirkanmu, mengapa pesanku hanya terkirim begitu saja tanpa pernah mendapat balasan, mengapa telponku selalu mendapat penolakan, mengapa tidak satu pun kabarmu menjumpaiku tiga bulan terakhir ini, padahal riwayat daringmu selalu tertera aktif, mengapa?

“Oh, aku baru saja menyerahkan naskah final  tugas akhirku paska perbaikan setelah sidang”

“Baguslah kalau sudah semua selesai, berarti bulan depan kamu bisa ikut wisuda sesuai harapanmu”

“Sepertinya begitu, kurasa”

“Setelah ini, kamu mau kemana?”

Bukankah janjimu enam bulan lalu setelah aku wisuda target kita adalah menyelesaikan semua urusan masing-masing dan bertemu di tempat yang lebih layak?

“Oh, belum tahu, mungkin kembali ke sini lagi jika aku jadi mengambil tawaran bekerja di kantor konsultan dari salah satu senior kuliah, atau mungkin mencoba peruntungan lain di ibu kota” jawabku sekenanya.

“Kamu memang punya lebih dari cukup potensi untuk melakukan itu semua.” jawabanmu ini juga terdengar sekenanya saja.

“Lalu kamu?” 

“Aku?”

“Ya, apa rencanamu setelah ini?”

Tik tok tik tok tik tok…

Hahhh….

Hanya terdengar nafas yang dihembuskan sembarangan dengan berat dan air muka yang sulit kuterjemahkan. Tetap tidak ada jawaban.

“Pasti ada banyak hal yang mau kamu lakukan setelah ini…” Aku berakhir menjawab pertanyaanku sendiri

“Aku rasa begitu, ada beberapa hal yang sedang aku rencanakan dalam waktu dekat ini. Sejak bulan lalu aku dipindah tugaskan ke Tulungagung. Yah, jadinya banyak hal yang mesti aku urus akhir-akhir ini.”

“Wow, tak tertebak sekali ya?! Tapi, kenapa Tulungagung? Bukankah kamu bilang kamu akan mengajukan perpanjangan penetapan tugas di kotaku? Lagipula masih ada sekitar enam bulan lagi sampai habis masa penugasanmu di kotaku, bukan?”

“Aku hanya menuruti keputusan manajemen”

Kenapa aku baru tahu sekarang? Bukankah kita bersepakat untuk selalu mendiskusikan mengenai tempat tinggal, rencana masa depan, dan semua keputusan penting bersama? Sekarang apa lagi hal dan keputusan-keputusan penting yang sudah kau buat yang aku tidak tahu?

“Oh, oke… Semoga kamu tidak akan rindu makan nasi goreng cumi Mang Jawi di depan statsiun ya… Haha… Tulungagung dari sekian banyak kota, kenapa? apa saja hal yang menarik dari sana?”

“Sama saja seperti kotamu, tapi entah kenapa Tulungagung terasa lebih nyaman dan indah menurutku. Aku menyukai suasana di Tulungagung dan ada banyak hal yang sangat ku sukai di sana”

Ada sesuatu yang mencegat tenggorokanku saat aku berusaha mencerna jawabanmu, rasanya sesak, mati-matian coba kutelan saja.

“Waktu tiga bulan nampaknya mampu mengubah banyak hal dalam hidup kita, menarik ya… Yeah, semoga berhasil di Tulungagung sana! Oh iya, Ibumu masih sesekali mengirimkan pesan padaku, kudengar kakak iparmu sudah melahirkan seorang bayi lelaki tampan beberapa minggu lalu, selamat ya…” semoga suaraku tidak terdengar telalu memaksa dan bergetar

“Iya, terima kasih… “

Pembicaraan ini kian aneh dan tidak nyaman, ada banyak hal yang terasa canggung dan disembunyikan. Aku sudah tidak tahan lagi, jadi setelah berpikir dan mengeja pelan-pelan kalimat tanya dalam batinku, aku beranikan diri jujur bertanya.

“Hingga saat ini ruang obrolan kita di watsap hanya berisi pesan-pesanku, tanpa ada jawaban darimu… Aku pikir mungkin kamu terlalu sibuk selama ini, atau mungkin ada gangguan pada ponselmu sehingga pesanku sebenarnya tidak pernah sampai padamu, atau mungkin... Entahlah... Adakah hal lain yang aku tidak tahu?”

“Aku hanya sering tidak membuka ponsel karena ada banyak yang mesti ku kerjakan akhir-akhir ini”

Aku sudah lumayan pede mengira kau akan -setidaknya- berkata 'maafkan aku' atau 'aku menyesal, aku tidak bermaksud seperti itu' tapi, kata maaf dan menyesal nampaknya terlalu mahal buatmu saat itu, atau memang sepertinya aku kepedean sendiri, terlalu berlebihan mengharapkan itu semua darimu.

“Jujur, tiga bulan ini terasa sangat panjang  buatku, dan aku tidak tahu apakah semua berjalan baik-baik saja diantara kita. Hanya saja selama ini, dari semua prasangka dan prakira yang terus berputar di kepalaku, aku masih berusaha memegang apa yang pernah kamu ucapkan tempo hari padaku. Aku bahkan tidak tahu, yang aku lakukan selama ini benar atau salah.”

Ada sebongkah batu dalam dadaku.

“Aku hanya… Aku tidak tahu harus bagaimana… Aku mungkin butuh waktu untuk diriku sendiri, mempertimbangkan dan memikirkan banyak hal” Katamu dengan penuh ragu.

“Kita memang harus meragukan banyak hal dulu untuk kemudian yakin. Aku paham sekali. Semua keputusannya ada pada diri kita, aku memutuskan untuk tetap mempercayaimu meski tiga bulan ini kau alpha, sembari aku menyelesaikan bagian-bagianku yang belum rampung. Tapi, semua jadi terasa seakan aku berjalan sendirian di jalan yang telah kita sepakati tempuh bersama. Selama tiga bulan ini, pasti banyak yang terjadi... Apa lagi hal yang harusnya aku tahu tapi aku tidak tahu selain salah satunya kamu pindah ke Tulungagung secara tiba-tiba?” mati-matian rasanya berusaha aku mengatur intonasi agar terdengar tenang.

“Semua berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Aku pindah ke Tulungagung karena ada hal yang aku temukan dan harus aku selesaikan di sana”

“Aku sangat menghargai kejujuran dan keterusterangan, kamu mesti sudah paham itu.”

“Kamu bilang Ibu masih sering mengirimimu pesan, apa saja yang Ibu katakan padamu?”

“Tidak banyak, aku mau tahu lebih banyak langsung darimu.”

“Tidak banyak yang bisa aku katakan, sayangnya..."

Ada jeda beberapa detik, kemudian kau melanjutkan perkataanmu

"Kau ingat, dulu kau pernah bilang padaku bahwa tidak semua hal mesti berjalan sesuai harapan kita, bukan?! Tidak semua hal yang kita inginkan mesti kita miliki, tidak semua hal mesti berakhir bahagia, tidak semua hal harus berhasil dalam hidup kita"

“Ya. Kita pun begitu sekarang, bukan?”

Kau kembali terdiam membiarkan pertanyaanku menggantung begitu saja diantara banyak pertanyaan lain yang teramat ingin kutanyakan padanya saat itu.

Selama ini aku mengira wajahmu selalu seperti itu; dengan kulit langsat, mata sipit, hidung mungil yang mengembang saat tertawa, bibir ipis dengan suara berat agak serak yang selalu berkata apa adanya, tertawa dengan renyahnya pada guyonan-guyonan ringan, dan senyum tulus yang sudah begitu akrab dalam imajinasiku. Tapi ku rasa itu hanya wajah yang kau tunjukan padaku, masih banyak rupa yang tersimpan dibaliknya. Hari ini aku menemukan wajahmu yang lain; kaku, dingin, dan ambigu. Aku jadi bertanya-tanya, seperti apakah rupa aslimu? Saat ini aku mulai paham dan berhenti mempertanyakan itu semua. Aku berhenti untuk mencari tahu lebih dalam. Semakin aku ingin bertanya semakin pula hatiku membungkam diriku untuk berhenti.

Saat itu tak banyak percakapan terjadi di antara kita, sunyi menciptakan tembok yang kian tinggi dalam jarak kita yang hanya yang bersebelahan itu. Kita sibuk dengan berbagai narasi dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Aku membenamkan ujung headseat ke kedua telinga dan membiarkan lagu-lagu berbahasa Korea favoritku mengalun begitu saja dari pemutar musik di ponselku. Saat kereta berhenti untuk pengecekan dan langsir di statsiun Cipeundeuy, kau beranjak pergi keluar, ingin mencari angin segar katamu karena pemberhentian kereta cukup lama di statsiun ini. Aku tetap di kursiku, memandang keluar jendela dengan isi kepalaku yang mengembara kemari dan kesana, kesini juga kesitu. 

Saat kereta perlahan bergerak maju kembali, kau tidak kembali lagi ke sampingku. Aku pun tidak mencari keberadaanmu karena saat itu hatiku terlalu sibuk mengolah rasa dan pikiranku terlalu sibuk melogikakan banyak asumsi dan perkiraan. Anehnya, saat itu aku sama sekali tidak kaget saat akhirnya aku benar-benar menghabiskan sisa perjalanan sendirian, berbicara dengan diriku sendiri –tentu saja dalam sanubari supaya tidak dikira gila, boleh jadi saat itu aku galau tapi stok kewarasanku masih banyak tersisa. Tiga jam perjalanan berikutnya terasa benar-benar menyiksa. Hatiku bukan main sesaknya, tapi pikiranku luar biasa hampanya.

Seorang perempuan dari pengeras suara dalam gerbong mengumumkan bahwa dalam sepuluh menit kereta akan sampai di statsiun kotaku. Perasaanku tidak dapat dijelaskan, biasanya ada kebahagiaan meletup-letup dalam hatiku saat akhirnya kereta sampai di statsiun tujuanku, karena tandanya aku sampai di rumah. Aku membereskan ponsel dan pemutar musikku, memasukkan botol airku kedalam tas, lalu mengeluarkan tas ranselku dari dalam kompartemen. Perlahan laju kereta melambat, kemudian berhenti.

Perjalananku sudah berakhir, aku sudah sampai di tujuan akhirku. Aku berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar untuk kemudian menemukanmu duduk sendirian di kursi paling ujung gerbong ini. Langkahku berhenti, kita saling bertukar tatap untuk enam atau mungkin tujuh detik, kemudian kedua ujung bibirmu terangkat beberapa milimeter. Aku gagal mengartikan ekspresi wajahmu dan lekat tatapmu saat itu, sekeras apapun aku mencoba, dan hanya berakhir membalas tatapanmu dengan senyum simpul yang kubuat senormal mungkin -meski aku tak yakin itu terlihat benar-benar tulus dan normal-.

“Aku… sudah sampai di pemberhentianku”

“Ya, sampai jumpa lagi”

Bukankah setelah ini mungkin kita tidak akan berjumpa lagi, jadi kenapa kau bilang sampai jumpa?

“Ya, sampai jumpa…”

Aku melangkah keluar dengan bolong yang menganga begitu besar dalam hatiku. Ada banyak tanya yang tidak terjawab, menyisakan kosong dan hampa yang terlalu jelas untuk disamarkan dan disembunyikan. Aku terus berjalan, seingin apapun aku menoleh ke belakang, tapi tubuhku terus berjalan setengah berlari menjauh pergi keluar statisun tanpa menoleh lagi. Kereta kembali melaju, membawamu pergi menjauh, melanjutkan perjalanan. Statsiun ini adalah pemberhentian terakhirku dan juga juga pemberhentian terakhirmu pada awalnya, tapi kali ini –dan seterusnya- ini menjadi pemberhentian terakhirku saja.

Malam-malam setelah itu, ada kalanya aku mendapati diriku terbengong sendiri, mencoba mengurai segala perasaan rumit yang berserakan sambil menonton banyak reka ulang memori yang masih tersimpan begitu jelas dalam ingatan, kemudian berakhir mencuci kedua manikku dengan air mata –yang sialnya lebih sering meluncur deras seenaknya tanpa dikomando. Hari-hari menjadi abu-abu, seperti langit mendung Januari di sore hari.

Suatu siang di pertengahan bulan Maret yang mendung dan lembab, kudapati layar gawaiku berkedip-kedip, sebuah pesan masuk. Pesan itu kemarin-kemarin begitu kutunggu-tunggu dan kuharapkan, tapi kali ini firasatku tidak enak. Aku menatap ponselku dengan segala perasaan membuncah. Banyak kata-kata indah tertulis disana, ada namamu yang jelas tertulis lengkap dengan font tegak bersambung meliuk-liuk indah, -dari dulu aku selalu suka membaca dan menyebut nama lengkapmu-, bersanding dengan nama feminin lain juga yang tertulis sama indahnya. Namanya sama dengan namaku, tapi nama belakangnya berbeda. Sejujurnya, hal itu amat menggangguku. 

Dulu aku pernah berdoa agar namaku dan namamu bisa bersanding indah di sini, benar, namamu tertulis dengan namaku -nama yang sama dengan namaku- tapi bukan aku yang bersanding bersamamu. Tulungagung tertulis di alamat resepsimu, itu sudah cukup membayar rasa penasaranku juga.

Aku hanya bisa tersenyum tapi banyak embun berjatuhan dari mataku. Lega sekali. Iya "Lega Sekali" aku tidak salah tulis. Akhirnya aku medapat jawaban konkret dari semua pertanyaan yang selama ini hanya menggantung begitu saja. Kali ini kau benar-benar telah sampai di statsiun pemberhentian terakhirmu yang jelas bukan statsiun yang sama dengan pemberhentian terakhirku. 

Meski ini adalah kisah patah hati, tapi aku tetap ingin merayakannya sebagaimana hari-hari istimewa yang membahagiakan lainnya. Setidaknya merayakan kelegaan hatiku, merayakan awal baru dalam hidupku tanpa perasaan ngun-ngun dan bimbang, merayakan hari-hari kedepannya tanpa menulis lagi banyak harapan kosong dan mengandai-andai, tanpa mempertanyakan atau memperkirakan ini dan itu, tanpa sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan diriku untuk kemudian merasa mungkin kau pergi karena aku kurang ini dan kurang itu. Kemudian butuh beberapa beberapa waktu untuk menyadari bahwa apa yang menjadi bagianku pasti tidak akan pergi melewatiku, tak peduli sebaik atau sekurang apapun diriku saat itu. 

Hari ini empat tahun berlalu, dan aku terkekeh sendiri mengingat momen-momen itu, sungguh! Ah lebay sekali ya setelah ku pikir-pikir lagi. Tapi bagaimana pun, aku menerima semua itu sebagai bagian dari bagaimana diriku bertumbuh dan melontar kembali setelah ditempa keadaan yang sulit. Perasaan yang kurasakan saat itu valid dan sangat manusiawi, tentu saja! Saat itu aku masih terlalu naif untuk memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan harus menjadi milik kita, tidak semua yang kita harapkan harus terwujud, tidak semua hal yang sudah kita beri mesti mendapat balasan. Kekecewaan datang karena ekspektasi kita sendiri yang tidak diiringi kelapangan hati untuk menerima bahwa ada probabilitas kenyataan yang bisa mengejek lancang ekspektasi. 

Aku kehilanganmu untuk menemukan diriku yang baru, yang sembuh dan tumbuh. Ditinggalkan dan merelakanmu adalah bagian dari perjalananku untuk mencintai diriku sendiri dengan lebih baik dan lebih tulus, hal ini sangat mahal. Aku sadar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari diriku, dan sepenuhnya aku ikhlas pada diriku sendiri, menerima bahwa aku punya sisi gelap dan terang, aku punya masa-masa sulit dan menyedihkan tapi aku juga punya lebih banyak kenangan-kenangan menyenangkan, aku pernah menjadi naif tetapi aku mampu belajar dan bangkit dari itu semua, dan aku tidak mesti merasa rendah  karena semua itu. Lagi pula, manusia bisa berubah karena mereka terus belajar dan bertumbuh, dan ini adalah salah satu kisah dalam perjalanan bertumbuhku. Dan satu lagi, sebelum bisa memberikan cinta dan segenap kasih sayang kepada orang lain, akan ku pastikan bahwa aku sudah cukup memberi cinta untuk diriku sendiri.

Tak lama setelah itu, kabar bahagia lain datang dari sebuah perusahaan di Ibu Kota sana, masih di bulan Maret yang mendung dan penuh hujan. Aku memulai perjalanan baruku, menggapai apa yang kuimpikan selama ini. Tuhan menggelitikku lagi, hidup harus terus berjalan, meski badai memporak-porandakan dirimu dari dalam. Dengan mantap pada tanggal dua puluh empat aku pergi, memulai kisah baruku, memulai perjalananku untuk berdamai dengan ekspektasiku, dengan semua harapan yang tak terpenuhi, dengan semua luka dan kecewa. Timur dan Barat memang tidak pernah bisa bersatu, pada akhirnya. Dalam perjalanannya memang tidak mudah, tapi pada akhirnya aku pun sampai pada pemberhentianku, mungkin bukan yang terakhir, tapi aku tau kemana aku harus melangkah pergi. 

Hidup ini ibarat perjalanan berkereta, akan banyak sekali statsiun pemberhentian. Kita mungkin akan banyak berhenti, melewati dan menyaksikan berbagai hal baru di tiap statsiun pemberhentian. Terkadang kita bisa terpesona dengan apa yang dilihat dan cukup percaya diri bahwa itu statsiun yang tepat untuk berhenti. Ternyata setelah kita singgah, melihat dan merasakan lebih dalam, kita menyadari bahwa bukan itu tempat yang tepat untuk menetap, padahal kereta telah melaju pergi meninggalkan kita. Saat itu kita mungkin merasa sedih, frustrasi, kecewa, marah, dan bingung. Manusiawi sekali. Aku hanya ingin bilang, tak apa untuk pernah singgah di tempat yang salah, karena dengan itu kita jadi tahu bahwa kita harus melanjutkan perjalanan untuk mencapai pemberhentian terakhir kita yang sesungguhnya.

Aku sudah ada di kereta berikutnya, meninggalkan statsiun yang sempat salah disinggahi menuju statsiun pemberhentian berikutnya. Aku belum sampai di pemberhentianku yang terakhir, tapi aku yakin aku akan sampai di sana. 

Buatku, dulu kau adalah statsiun pemberhentian terakhirku. Aku kelewat pede dan yakin saat itu bahwa kau adalah yang kucari, rumah yang bisa kutinggali, tempat yang menjadi tujuan akhirku dari perjalanan pencarian panjangku selama ini. Well... Maklum karena katanya orang yang sedang dimabuk cinta kecerdasannya bisa terjungkal turun tak kira-kira. Ternyata kau adalah persinggahan yang salah. Tak apa. Terima kasih telah membiarkanku singgah, persinggahan itu mengajarkanku arti mencintai diri dan menerima takdir. Tentu saja perjalananku harus berlanjut. Aku pamit. 

Annyeonghi gyeseyo! Ddo mannayo!

 

 

 

 

 

 

Senin, 10 Januari 2022

Insomnia dan Dongeng Monster


Malam ini, lagi-lagi kantukku menguap hilang, sudah kumatikan lampu, ku kunci pintu, kutata bantalku, berharap segera terpenjam pulas. Tidur selain merupakan kebutuhan biologis Homo Sapiens, juga merupakan cara ajaib untuk melupakan sejenak realita dan segala cerita yang belum menemukan plot yang berakhir indah. Dewasa ini tidur dengan tenang menjadi hal yang kian mahal.

Sudah coba ku berdamai dengan ramai isi kepalaku, lelah badanku, ingin ku rehat, biar barang sesaat. Tapi perdebatan sedang berada di klimaks, sukar memberi argumen pamungkas untuk menengahi. Pasrah ku terlentang, menatap kosong.

Malam selalu terasa lebih panjang dan lebih melelahkan dari pada siang, setidaknya buatku. Orang bilang malam adalah waktu yang tepat untuk istirahat, saat sunyi bergerilya menyusupi sudut-sudut yang biasanya riuh saat hari terang, sunyi memeluk tubuh-tubuh ringkih untuk mati suri, sunyi menghipnotis jiwa-jiwa yang lelah untuk tenggelam dalam damai. Tapi buatku, malam seperti hamparan padang gelap dan sepi yang terbentang di pelupuk, di padang itu aku mengerang, berteriak, berlari, menari, berguling, bersenandung, atau hanya duduk bengong, menatap gelap, menghirup dalam-dalam udara yang entah kenapa terasa pekat, semakin dihirup, dada terasa semakin penuh dan sesak.

Sering kudapati sebagian diriku hilang, seperti menguap bersama udara, meninggalkan kekosongan yang terlalu nyata dan mencolok untuk diabaikan. Kemudian di lain waktu aku mendapati diriku begitu sibuk menambal di sini dan di situ, mengisi ini dan itu, mencoba mengenyahkan kosong yang melompong tidak elok itu. Tak jarang juga tambalan-tambalan itu di kemudian hari kembali bocor, dan segala macam isian yang ditambahkan kembali menguap, meninggalkan hampa yang akhir-akhir ini jadi terasa lebih familiar.

Berbagai topik diperbincangkan, dari yang tak penting: seputar pohon jambu di halaman yang entah kenapa dewasa ini tidak lagi berbuah lebat, hingga ke topik-topik yang semakin berat. Semua bising riuh dalam kepalaku. Begitu kontras dengan sunyi yang mengambang dan mengembang di ruangan ini. 

Sunyi menjadi belati yang terus menerus diasah dan diarahkan mendekat seinchi demi seinchi ke dadaku, semakin ia pekat, semakin tajam belati itu, semakin gaduh dalam diriku. 

Sunyi menjelma menjadi teriakan paling lantang yang tak pernah bisa didengar.

Ada banyak sekali hal yang sengaja (atau mungkin juga tidak) dikubur rapat dalam labirin paling bawah, paling ujung, dan paling gelap. Ia tersembunyi disana, dibalik pintu baja yang terkunci rapat, dijaga oleh berbagai perangkap jebakan, seperti yang ada di film James Bond. Aku berspekulasi, sepertinya yang terkunci disana adalah monster-monster mengerikan.

Sunyi mengikis satu persatu pertahanannya, hingga terbukalah ruang rahasia yang sebelumnya selalu terlupakan dan dihindari. Lebih seringnya diriku menjadi seperti bolong dan ngun-ngun saat mengetahui apa saja yang lama terkunci disana. Hatiku jadi terasa berat, kepalaku terasa penuh, banyak cuplikan ingatan melayang-layang di udara. 

Ada banyak raut wajah berkelindan dan suara-suara mengambang dalam hening yang kini terasa begitu menyakitkan. Kupejamkan mata, membiarkan hujan deras turun di wajahku, saat itu aku sepenuhnya disadarkan bahwa betapa faqirnya aku setelah segala perhiasan kutanggalkan begitu saja. Aku sendirian, dalam pasrahku, membiarkan tubuhku limbung diantara porak poranda, memanggil satu nama: Tuhan! Tuhan! Hei Tuhan! Kau masih disana, bukan? 

Dalam ketidakberdayaan aku  mendapati bayangan-bayangan yang menari-nari di atasku itu terlalu nyata untuk disangsikan, baiklah, aku menerimanya, aku mempercayainya, penuh! Semua itu bagian dari diriku, setakut, semuak, sebenci apapun aku dengan semua itu. Monster-monster itu berpesta pora, meruntuhkan apa saja, aku tanpa perlawanan (karena sebenarnya aku sudah tidak punya sisa tenaga dan keberanian) hanya membiarkan, memang bisa apa aku?

Hatiku perlahan terasa kosong, seperti satu persatu yang sarat itu menguar secara magis. Ada masa yang hilang yang hanya terlihat seperti lembaran catatan kosong. Terkadang rasanya terlalu aneh dan asing, menyaksikan monster itu meledak, menciptakan dentuman-dentuman keras, mengobrak-abrik kenangan-kenangan yang susah payah ditata dan disimpan, ruang sunyi itu kini sudah sepenuhnya tidak lagi sunyi.

Sudah ku bilang bukan, bahwa kekosongan itu menjadi ruang yang yang entah bagaimana kini terisi dengan ledakan-ledakan. Ruang itu kosong lagipula, aku tak perlu takut akan ada yang hancur (naif sekali pikiranku ini awalnya). Tetapi, ledakan tetaplah ledakan. 

Betapa lucu jika mengingat bahwa ledakan-ledakan itu terus terjadi, merembet dari satu ke yang lain, seperti kembang api di langit malam satu Januari. Awalnya terasa menyakitkan, tetapi lama kelamaan aku jadi kebas dan kebal, aku mulai terbiasa, akhirnya mati rasa seperti karang yang dihantam ombak. Jangan salah sangka, aku masih tetap berwujud manusia sejauh ini, masih satu spesies denganmu.

Bagaimanapun setelah sederat pesta ledakan itu selesai, monster-monster menjadi lebih jinak setelah lelah mengamuk, mereka tidak lagi menyeramkan. Hening mengalun, menguar seperti asap di udara. Kekacauan tidak pernah begitu jelas seperti kinii, sejauh manik memandang, puing-puing berserakan, berhamburan, berantakan tak beraturan. Terlalu banyak. Jadi harus dari mana aku mulai membereskan dan membersihkan semua kekacauan ini?

Aku terus bertanya dan terngungu seperti mendadak dungu, benarkah ternyata sekacau ini? Sampai lupa bahwa sesuatu tidak akan pernah bisa selesai jika bahkan kita tidak memulainya. Dan aku sadar aku terlalu banyak mengutuk daripada memulai untuk memunguti puing-puingnya, membereskan sedikit demi sedikit, setahap demi setahap hingga semua kembali pada tempatnya: yang layak disimpan kembali, yang tidak harus dibuang.

Padang sunyiku yang lapang kini tidak hanya gelap, tapi juga luluh lantah, berantakan tak berupa, sungguh kacau yang amat sempurna. Wow!

Aku sedang membereskannya (setidaknya aku sedang berusaha untuk itu), sepertinya akan makan waktu dan makan tenaga. Tapi katanya, tidak perlu terlalu terburu-buru, kalau capai boleh rehat dulu asal kembali dilanjutkan setelah rehatnya cukup.

Setidaknya tapi… Aku diajarkan waktu bahwa semua monster yang disembunyikan dipendam dalam-dalam itu pasti mencari jalannya untuk keluar, meledak dan mengamuk. Kemarin-kemarin aku terlalu sibuk untuk lari bersembunyi dan membangun benteng pertahanan, menghindar agar tidak terluka, menjauh karena takut ikut hancur. Eh, ini manusiawi, bukan?!

Seharusnya mungkin aku sedikit lebih tenang dan percaya diri, bukan, bukan! Setidaknya aku harus lebih berani. Monster itu mungkin bisa dijinakkan dengan sentuhan kesabaran dan ketulusan.

Dan mungkin padang sunyi itu tidak akan gelap lagi, jika aku menyalakan cahaya.

Malam ini aku masih tidak bisa terlelap, tenang tak kunjung datang. Aku kembali ke padang sunyiku (yang masih berantakan dan kacau itu), dan aku menemukan monster-monster yangg kini terlelap kelelahan itu nyatanya terasa begitu akrab buatku. Ku tatap lekat mereka tanpa jeda, menggerayangi setiap detailnya, sampai rasanya bola mataku panas dan sebentar lagi melompat dari tempatnya. Huhu. Haha. Aku menangis sambil tertawa.

Oh ayolah, ternyata mereka adalah aku.