Minggu, 06 Maret 2022

Pemberhentian Terakhir

Source: Twitter
Source: Twitter


Bulan berganti, dari semua bulan, Maret punya cerita khusus buatku, karena di bulan ini tiga tahun lalu, aku mengawali hidup baru jauh beratus kilometer dari kamar empat meter persegiku. Maret juga mengingatkan pada titik awal aku merelakan yang sempat singgah, menanam banyak harap, kemudian pergi tanpa menyampaikan sebaris pun salam penutup. 

Kereta Lodaya Gerbong 4 kursi 6D & 6E aku masih ingat betul, kita duduk bersebelahan. Pertemuan kita dalam perjalanan itu bukan hal yang sengaja dan sama sekali tidak pernah terduga sebelumnya. Dalam jarak yang begitu dekat, diam menyekat, terasa agak sesak saat terhirup. Aku mengawali  dengan pertanyaan basa-basi yang tidak begitu menggugah “Ibu, apa kabar dia?” butuh jeda lima detik untuk kau menjawab dengan pelan dan suara agak bergetar “Dia baik, tensinya masih naik turun, tapi sekarang dia baik” aku tidak menyaut, hanya mengangguk. Untuk sekian menit setelahnya hanya terdengar gemuruh mesin kereta dan obrolan dua perempuan yang duduk tepat di bangku sebrang lorong kursi kita.

“Kamu sekarang, sibuk apa?” tanyamu datar.

Sibuk menerka dan memikirkanmu, mengapa pesanku hanya terkirim begitu saja tanpa pernah mendapat balasan, mengapa telponku selalu mendapat penolakan, mengapa tidak satu pun kabarmu menjumpaiku tiga bulan terakhir ini, padahal riwayat daringmu selalu tertera aktif, mengapa?

“Oh, aku baru saja menyerahkan naskah final  tugas akhirku paska perbaikan setelah sidang”

“Baguslah kalau sudah semua selesai, berarti bulan depan kamu bisa ikut wisuda sesuai harapanmu”

“Sepertinya begitu, kurasa”

“Setelah ini, kamu mau kemana?”

Bukankah janjimu enam bulan lalu setelah aku wisuda target kita adalah menyelesaikan semua urusan masing-masing dan bertemu di tempat yang lebih layak?

“Oh, belum tahu, mungkin kembali ke sini lagi jika aku jadi mengambil tawaran bekerja di kantor konsultan dari salah satu senior kuliah, atau mungkin mencoba peruntungan lain di ibu kota” jawabku sekenanya.

“Kamu memang punya lebih dari cukup potensi untuk melakukan itu semua.” jawabanmu ini juga terdengar sekenanya saja.

“Lalu kamu?” 

“Aku?”

“Ya, apa rencanamu setelah ini?”

Tik tok tik tok tik tok…

Hahhh….

Hanya terdengar nafas yang dihembuskan sembarangan dengan berat dan air muka yang sulit kuterjemahkan. Tetap tidak ada jawaban.

“Pasti ada banyak hal yang mau kamu lakukan setelah ini…” Aku berakhir menjawab pertanyaanku sendiri

“Aku rasa begitu, ada beberapa hal yang sedang aku rencanakan dalam waktu dekat ini. Sejak bulan lalu aku dipindah tugaskan ke Tulungagung. Yah, jadinya banyak hal yang mesti aku urus akhir-akhir ini.”

“Wow, tak tertebak sekali ya?! Tapi, kenapa Tulungagung? Bukankah kamu bilang kamu akan mengajukan perpanjangan penetapan tugas di kotaku? Lagipula masih ada sekitar enam bulan lagi sampai habis masa penugasanmu di kotaku, bukan?”

“Aku hanya menuruti keputusan manajemen”

Kenapa aku baru tahu sekarang? Bukankah kita bersepakat untuk selalu mendiskusikan mengenai tempat tinggal, rencana masa depan, dan semua keputusan penting bersama? Sekarang apa lagi hal dan keputusan-keputusan penting yang sudah kau buat yang aku tidak tahu?

“Oh, oke… Semoga kamu tidak akan rindu makan nasi goreng cumi Mang Jawi di depan statsiun ya… Haha… Tulungagung dari sekian banyak kota, kenapa? apa saja hal yang menarik dari sana?”

“Sama saja seperti kotamu, tapi entah kenapa Tulungagung terasa lebih nyaman dan indah menurutku. Aku menyukai suasana di Tulungagung dan ada banyak hal yang sangat ku sukai di sana”

Ada sesuatu yang mencegat tenggorokanku saat aku berusaha mencerna jawabanmu, rasanya sesak, mati-matian coba kutelan saja.

“Waktu tiga bulan nampaknya mampu mengubah banyak hal dalam hidup kita, menarik ya… Yeah, semoga berhasil di Tulungagung sana! Oh iya, Ibumu masih sesekali mengirimkan pesan padaku, kudengar kakak iparmu sudah melahirkan seorang bayi lelaki tampan beberapa minggu lalu, selamat ya…” semoga suaraku tidak terdengar telalu memaksa dan bergetar

“Iya, terima kasih… “

Pembicaraan ini kian aneh dan tidak nyaman, ada banyak hal yang terasa canggung dan disembunyikan. Aku sudah tidak tahan lagi, jadi setelah berpikir dan mengeja pelan-pelan kalimat tanya dalam batinku, aku beranikan diri jujur bertanya.

“Hingga saat ini ruang obrolan kita di watsap hanya berisi pesan-pesanku, tanpa ada jawaban darimu… Aku pikir mungkin kamu terlalu sibuk selama ini, atau mungkin ada gangguan pada ponselmu sehingga pesanku sebenarnya tidak pernah sampai padamu, atau mungkin... Entahlah... Adakah hal lain yang aku tidak tahu?”

“Aku hanya sering tidak membuka ponsel karena ada banyak yang mesti ku kerjakan akhir-akhir ini”

Aku sudah lumayan pede mengira kau akan -setidaknya- berkata 'maafkan aku' atau 'aku menyesal, aku tidak bermaksud seperti itu' tapi, kata maaf dan menyesal nampaknya terlalu mahal buatmu saat itu, atau memang sepertinya aku kepedean sendiri, terlalu berlebihan mengharapkan itu semua darimu.

“Jujur, tiga bulan ini terasa sangat panjang  buatku, dan aku tidak tahu apakah semua berjalan baik-baik saja diantara kita. Hanya saja selama ini, dari semua prasangka dan prakira yang terus berputar di kepalaku, aku masih berusaha memegang apa yang pernah kamu ucapkan tempo hari padaku. Aku bahkan tidak tahu, yang aku lakukan selama ini benar atau salah.”

Ada sebongkah batu dalam dadaku.

“Aku hanya… Aku tidak tahu harus bagaimana… Aku mungkin butuh waktu untuk diriku sendiri, mempertimbangkan dan memikirkan banyak hal” Katamu dengan penuh ragu.

“Kita memang harus meragukan banyak hal dulu untuk kemudian yakin. Aku paham sekali. Semua keputusannya ada pada diri kita, aku memutuskan untuk tetap mempercayaimu meski tiga bulan ini kau alpha, sembari aku menyelesaikan bagian-bagianku yang belum rampung. Tapi, semua jadi terasa seakan aku berjalan sendirian di jalan yang telah kita sepakati tempuh bersama. Selama tiga bulan ini, pasti banyak yang terjadi... Apa lagi hal yang harusnya aku tahu tapi aku tidak tahu selain salah satunya kamu pindah ke Tulungagung secara tiba-tiba?” mati-matian rasanya berusaha aku mengatur intonasi agar terdengar tenang.

“Semua berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Aku pindah ke Tulungagung karena ada hal yang aku temukan dan harus aku selesaikan di sana”

“Aku sangat menghargai kejujuran dan keterusterangan, kamu mesti sudah paham itu.”

“Kamu bilang Ibu masih sering mengirimimu pesan, apa saja yang Ibu katakan padamu?”

“Tidak banyak, aku mau tahu lebih banyak langsung darimu.”

“Tidak banyak yang bisa aku katakan, sayangnya..."

Ada jeda beberapa detik, kemudian kau melanjutkan perkataanmu

"Kau ingat, dulu kau pernah bilang padaku bahwa tidak semua hal mesti berjalan sesuai harapan kita, bukan?! Tidak semua hal yang kita inginkan mesti kita miliki, tidak semua hal mesti berakhir bahagia, tidak semua hal harus berhasil dalam hidup kita"

“Ya. Kita pun begitu sekarang, bukan?”

Kau kembali terdiam membiarkan pertanyaanku menggantung begitu saja diantara banyak pertanyaan lain yang teramat ingin kutanyakan padanya saat itu.

Selama ini aku mengira wajahmu selalu seperti itu; dengan kulit langsat, mata sipit, hidung mungil yang mengembang saat tertawa, bibir ipis dengan suara berat agak serak yang selalu berkata apa adanya, tertawa dengan renyahnya pada guyonan-guyonan ringan, dan senyum tulus yang sudah begitu akrab dalam imajinasiku. Tapi ku rasa itu hanya wajah yang kau tunjukan padaku, masih banyak rupa yang tersimpan dibaliknya. Hari ini aku menemukan wajahmu yang lain; kaku, dingin, dan ambigu. Aku jadi bertanya-tanya, seperti apakah rupa aslimu? Saat ini aku mulai paham dan berhenti mempertanyakan itu semua. Aku berhenti untuk mencari tahu lebih dalam. Semakin aku ingin bertanya semakin pula hatiku membungkam diriku untuk berhenti.

Saat itu tak banyak percakapan terjadi di antara kita, sunyi menciptakan tembok yang kian tinggi dalam jarak kita yang hanya yang bersebelahan itu. Kita sibuk dengan berbagai narasi dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Aku membenamkan ujung headseat ke kedua telinga dan membiarkan lagu-lagu berbahasa Korea favoritku mengalun begitu saja dari pemutar musik di ponselku. Saat kereta berhenti untuk pengecekan dan langsir di statsiun Cipeundeuy, kau beranjak pergi keluar, ingin mencari angin segar katamu karena pemberhentian kereta cukup lama di statsiun ini. Aku tetap di kursiku, memandang keluar jendela dengan isi kepalaku yang mengembara kemari dan kesana, kesini juga kesitu. 

Saat kereta perlahan bergerak maju kembali, kau tidak kembali lagi ke sampingku. Aku pun tidak mencari keberadaanmu karena saat itu hatiku terlalu sibuk mengolah rasa dan pikiranku terlalu sibuk melogikakan banyak asumsi dan perkiraan. Anehnya, saat itu aku sama sekali tidak kaget saat akhirnya aku benar-benar menghabiskan sisa perjalanan sendirian, berbicara dengan diriku sendiri –tentu saja dalam sanubari supaya tidak dikira gila, boleh jadi saat itu aku galau tapi stok kewarasanku masih banyak tersisa. Tiga jam perjalanan berikutnya terasa benar-benar menyiksa. Hatiku bukan main sesaknya, tapi pikiranku luar biasa hampanya.

Seorang perempuan dari pengeras suara dalam gerbong mengumumkan bahwa dalam sepuluh menit kereta akan sampai di statsiun kotaku. Perasaanku tidak dapat dijelaskan, biasanya ada kebahagiaan meletup-letup dalam hatiku saat akhirnya kereta sampai di statsiun tujuanku, karena tandanya aku sampai di rumah. Aku membereskan ponsel dan pemutar musikku, memasukkan botol airku kedalam tas, lalu mengeluarkan tas ranselku dari dalam kompartemen. Perlahan laju kereta melambat, kemudian berhenti.

Perjalananku sudah berakhir, aku sudah sampai di tujuan akhirku. Aku berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar untuk kemudian menemukanmu duduk sendirian di kursi paling ujung gerbong ini. Langkahku berhenti, kita saling bertukar tatap untuk enam atau mungkin tujuh detik, kemudian kedua ujung bibirmu terangkat beberapa milimeter. Aku gagal mengartikan ekspresi wajahmu dan lekat tatapmu saat itu, sekeras apapun aku mencoba, dan hanya berakhir membalas tatapanmu dengan senyum simpul yang kubuat senormal mungkin -meski aku tak yakin itu terlihat benar-benar tulus dan normal-.

“Aku… sudah sampai di pemberhentianku”

“Ya, sampai jumpa lagi”

Bukankah setelah ini mungkin kita tidak akan berjumpa lagi, jadi kenapa kau bilang sampai jumpa?

“Ya, sampai jumpa…”

Aku melangkah keluar dengan bolong yang menganga begitu besar dalam hatiku. Ada banyak tanya yang tidak terjawab, menyisakan kosong dan hampa yang terlalu jelas untuk disamarkan dan disembunyikan. Aku terus berjalan, seingin apapun aku menoleh ke belakang, tapi tubuhku terus berjalan setengah berlari menjauh pergi keluar statisun tanpa menoleh lagi. Kereta kembali melaju, membawamu pergi menjauh, melanjutkan perjalanan. Statsiun ini adalah pemberhentian terakhirku dan juga juga pemberhentian terakhirmu pada awalnya, tapi kali ini –dan seterusnya- ini menjadi pemberhentian terakhirku saja.

Malam-malam setelah itu, ada kalanya aku mendapati diriku terbengong sendiri, mencoba mengurai segala perasaan rumit yang berserakan sambil menonton banyak reka ulang memori yang masih tersimpan begitu jelas dalam ingatan, kemudian berakhir mencuci kedua manikku dengan air mata –yang sialnya lebih sering meluncur deras seenaknya tanpa dikomando. Hari-hari menjadi abu-abu, seperti langit mendung Januari di sore hari.

Suatu siang di pertengahan bulan Maret yang mendung dan lembab, kudapati layar gawaiku berkedip-kedip, sebuah pesan masuk. Pesan itu kemarin-kemarin begitu kutunggu-tunggu dan kuharapkan, tapi kali ini firasatku tidak enak. Aku menatap ponselku dengan segala perasaan membuncah. Banyak kata-kata indah tertulis disana, ada namamu yang jelas tertulis lengkap dengan font tegak bersambung meliuk-liuk indah, -dari dulu aku selalu suka membaca dan menyebut nama lengkapmu-, bersanding dengan nama feminin lain juga yang tertulis sama indahnya. Namanya sama dengan namaku, tapi nama belakangnya berbeda. Sejujurnya, hal itu amat menggangguku. 

Dulu aku pernah berdoa agar namaku dan namamu bisa bersanding indah di sini, benar, namamu tertulis dengan namaku -nama yang sama dengan namaku- tapi bukan aku yang bersanding bersamamu. Tulungagung tertulis di alamat resepsimu, itu sudah cukup membayar rasa penasaranku juga.

Aku hanya bisa tersenyum tapi banyak embun berjatuhan dari mataku. Lega sekali. Iya "Lega Sekali" aku tidak salah tulis. Akhirnya aku medapat jawaban konkret dari semua pertanyaan yang selama ini hanya menggantung begitu saja. Kali ini kau benar-benar telah sampai di statsiun pemberhentian terakhirmu yang jelas bukan statsiun yang sama dengan pemberhentian terakhirku. 

Meski ini adalah kisah patah hati, tapi aku tetap ingin merayakannya sebagaimana hari-hari istimewa yang membahagiakan lainnya. Setidaknya merayakan kelegaan hatiku, merayakan awal baru dalam hidupku tanpa perasaan ngun-ngun dan bimbang, merayakan hari-hari kedepannya tanpa menulis lagi banyak harapan kosong dan mengandai-andai, tanpa mempertanyakan atau memperkirakan ini dan itu, tanpa sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan diriku untuk kemudian merasa mungkin kau pergi karena aku kurang ini dan kurang itu. Kemudian butuh beberapa beberapa waktu untuk menyadari bahwa apa yang menjadi bagianku pasti tidak akan pergi melewatiku, tak peduli sebaik atau sekurang apapun diriku saat itu. 

Hari ini empat tahun berlalu, dan aku terkekeh sendiri mengingat momen-momen itu, sungguh! Ah lebay sekali ya setelah ku pikir-pikir lagi. Tapi bagaimana pun, aku menerima semua itu sebagai bagian dari bagaimana diriku bertumbuh dan melontar kembali setelah ditempa keadaan yang sulit. Perasaan yang kurasakan saat itu valid dan sangat manusiawi, tentu saja! Saat itu aku masih terlalu naif untuk memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan harus menjadi milik kita, tidak semua yang kita harapkan harus terwujud, tidak semua hal yang sudah kita beri mesti mendapat balasan. Kekecewaan datang karena ekspektasi kita sendiri yang tidak diiringi kelapangan hati untuk menerima bahwa ada probabilitas kenyataan yang bisa mengejek lancang ekspektasi. 

Aku kehilanganmu untuk menemukan diriku yang baru, yang sembuh dan tumbuh. Ditinggalkan dan merelakanmu adalah bagian dari perjalananku untuk mencintai diriku sendiri dengan lebih baik dan lebih tulus, hal ini sangat mahal. Aku sadar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari diriku, dan sepenuhnya aku ikhlas pada diriku sendiri, menerima bahwa aku punya sisi gelap dan terang, aku punya masa-masa sulit dan menyedihkan tapi aku juga punya lebih banyak kenangan-kenangan menyenangkan, aku pernah menjadi naif tetapi aku mampu belajar dan bangkit dari itu semua, dan aku tidak mesti merasa rendah  karena semua itu. Lagi pula, manusia bisa berubah karena mereka terus belajar dan bertumbuh, dan ini adalah salah satu kisah dalam perjalanan bertumbuhku. Dan satu lagi, sebelum bisa memberikan cinta dan segenap kasih sayang kepada orang lain, akan ku pastikan bahwa aku sudah cukup memberi cinta untuk diriku sendiri.

Tak lama setelah itu, kabar bahagia lain datang dari sebuah perusahaan di Ibu Kota sana, masih di bulan Maret yang mendung dan penuh hujan. Aku memulai perjalanan baruku, menggapai apa yang kuimpikan selama ini. Tuhan menggelitikku lagi, hidup harus terus berjalan, meski badai memporak-porandakan dirimu dari dalam. Dengan mantap pada tanggal dua puluh empat aku pergi, memulai kisah baruku, memulai perjalananku untuk berdamai dengan ekspektasiku, dengan semua harapan yang tak terpenuhi, dengan semua luka dan kecewa. Timur dan Barat memang tidak pernah bisa bersatu, pada akhirnya. Dalam perjalanannya memang tidak mudah, tapi pada akhirnya aku pun sampai pada pemberhentianku, mungkin bukan yang terakhir, tapi aku tau kemana aku harus melangkah pergi. 

Hidup ini ibarat perjalanan berkereta, akan banyak sekali statsiun pemberhentian. Kita mungkin akan banyak berhenti, melewati dan menyaksikan berbagai hal baru di tiap statsiun pemberhentian. Terkadang kita bisa terpesona dengan apa yang dilihat dan cukup percaya diri bahwa itu statsiun yang tepat untuk berhenti. Ternyata setelah kita singgah, melihat dan merasakan lebih dalam, kita menyadari bahwa bukan itu tempat yang tepat untuk menetap, padahal kereta telah melaju pergi meninggalkan kita. Saat itu kita mungkin merasa sedih, frustrasi, kecewa, marah, dan bingung. Manusiawi sekali. Aku hanya ingin bilang, tak apa untuk pernah singgah di tempat yang salah, karena dengan itu kita jadi tahu bahwa kita harus melanjutkan perjalanan untuk mencapai pemberhentian terakhir kita yang sesungguhnya.

Aku sudah ada di kereta berikutnya, meninggalkan statsiun yang sempat salah disinggahi menuju statsiun pemberhentian berikutnya. Aku belum sampai di pemberhentianku yang terakhir, tapi aku yakin aku akan sampai di sana. 

Buatku, dulu kau adalah statsiun pemberhentian terakhirku. Aku kelewat pede dan yakin saat itu bahwa kau adalah yang kucari, rumah yang bisa kutinggali, tempat yang menjadi tujuan akhirku dari perjalanan pencarian panjangku selama ini. Well... Maklum karena katanya orang yang sedang dimabuk cinta kecerdasannya bisa terjungkal turun tak kira-kira. Ternyata kau adalah persinggahan yang salah. Tak apa. Terima kasih telah membiarkanku singgah, persinggahan itu mengajarkanku arti mencintai diri dan menerima takdir. Tentu saja perjalananku harus berlanjut. Aku pamit. 

Annyeonghi gyeseyo! Ddo mannayo!