Minggu, 05 Januari 2025

Apa yang Berubah Saat Kau Menjadi Dewasa?

Terminal Pulogebang akhir-akhir ini menjadi sangat familiar buat saya, terutama sejak saya menemukan bahwa jaraknya dari tempat kost saya hanya sekitar dua belas menit perjalanan. Apalagi jika dibandingkan jarak ke statsiun Gambir dan Pasar Senen yang harus ditempuh sekitar empat puluh menit berkendara. Hanya ada satu PO bus yang dapat membawa saya pulang ke kampung halaman saya -sebuah kota kecil di penghujung selatan Jawa Barat-  di dua jadwal keberangkatan, yakni pukul sepuluh pagi, dan sepuluh malam. Setidaknya sekali dalam tiga bulan, pada jumat malamnya saya mengunjungi terminal raksasa ini untuk sebuah titik awal yang kini saya nanti-nanti sekali: Pulang Kampung.

Seiring waktu mematangkan umur, pulang buat saya memberi makna yang agak berbeda. Pulang bukan lagi sebuah perjalanan yang ingin saya lakukan sesering mungkin seperti jaman kuliah dulu. Dewasa kini, saya jadi lebih nyaman untuk menabung celegan rindu untuk akhirnya dikosongkan setelah sekian purnama berikutnya. Bukan lain, karena ini membuat setiap perjalanan pulang itu jadi lebih istimewa dan ditunggu-tunggu, membayangkannya saja membuat hati saya berbunga-bunga, macam orang kasmaran. Sehingga setiap waktu yang berlalu saat saya di rumah, dapat saya hargai dengan sebaiknya.

Perjalanan menuju rumah saya biasanya memakan waktu sekita tujuh jam, dan dalam bus malam itu tentu saja saya kebanyakan hanya tertidur, bangun saat bus berhenti di rest area untuk menumpang ke kamar mandi dan membeli beberapa kudapan. Malam itu, Jakarta melepas saya dengan udara berangin, bau basah samar-samar terindera. Bus berlari dengan kecepatan sedang membelah Karawang dan Purwakarta, lalu perlahan mendekati Padalarang, diserbunya kami dengan pasukan gerimis tipis, genangan air menempel di kaca jendela. Saya menyandarkan muka ke jendela, kursi sebelah saya kosong dan penumpang bis hanya sekitar sepuluh - lima belas orang saja kala itu. Tidak ada lagu dangdut, tembang pop Sunda atau lagu-lagu Inka Kristie di pemutar musik, tumben pikir saya.  Mengambang di udara suara deru mesin sesekali diselingi obrolan ringan kondektur dengan sopir bus dalam bahasa daerah yang kebetulan saya pahami. 

Pikiran saya menari-nari menembus temaram lampu jalanan, ini tahun ke-sepuluh saya merantau, dari yang awalnya untuk menempuh studi di universitas, hingga akhirnya mencari jati diri (nampaknya) dan juga pundi-pundi rezeki. Bapak saya sepanjang hidupnya sudah banyak mencicipi berbagai profesi, dari mulai menjadi akuntan, petani kopi, tim ekspedisi minyak, karyawan pabrik, hingga ahli struktur konstruksi seperti saat ini. Daerah paling timur hingga paling barat Indonesia, pernah ia jelajahi, sehingga sedari kecil kami -saya dan Mama- terbiasa berjauhan dengannya. Mungkin, keberanian dan nyali menjadi perantau itu sedikit banyak menurun kepada saya. Tanpa ragu Bapak melepas saya merantau di usia belia, meski Mama dan Emak agak keberatan awalnya, khawatir katanya, wajar saja sih, memang.



Tahun ini Bapak menginjak usia setengah abad, agak sendu juga buat saya, oh lelaki yang paling lama saya kenal sepanjang hidup ini sudah mulai menunjukan tanda-tanda penuaan. Pinggangnya jadi lumayan sering sakit, energinya tidak lagi sebanyak dulu, ketahanannya juga tidak lagi seprima dulu, tapi setidaknya rambut Bapak masih hitam dan lebat, berkat genetik yang diwariskan Ibunya.  

Akhir-akhir ini Bapak tidak mengambil terlalu banyak pekerjaan, kami memintanya untuk tidak lupa diri, bahwa mungkin di usianya yang tidak seranum dulu, tubuhnya juga mulai menuntut untuk mendapat jatah rehat yang lebih banyak. Perjalanannya terakhir ke Kendari sana hanya sekitar empat bulan saja, setelahnya Bapak menikmati perannya menjadi bapak rumahan yang sibuk mengurus halaman dan beberapa ternak kami, juga mendalami hobinya memelihara aneka burung bersuara merdu pada waktunya -yang akhirnya- cukup senggang.

Mama sudah tidak bekerja di kantor kecamatan, sudah tidak lagi disibukkan dengan berbagai kegiatan ina-inu bahkan di Sabtu dan Minggu. Setelah hampir dua puluh tahun, Mama akhirnya benar-benar bisa menghidupi perannya sebagai ibu rumah tangga penuh waktu, sehingga halaman kami semakin rimbun dengan koleksi aneka tanaman dan bunga, juga bebuahan yang katanya sedang diuji coba.

Saya dan Mama bisa dibilang pernah mengalami ada di posisi seperti air dan minyak, entah mengapa cara berpikir kami lebih banyak berbedanya dari pada sepakatnya, termasuk dengan cara Mama yang begitu toh-tohan bekarja namun sebagai anak abege yang sedang haus perhatian, saya merasa banyak dinomor duakan. Ada tembok yang perlahan terbangun di antara kami yang membuat hubungan kami seperti karakter kartun kucing dan tikus yang melegenda itu. Kadang bisa akur dan saling mendukung, tapi kadang saling memusuhi. Betapa saya jengkel jika di akhir pekan Mama meninggalkan saya sendiri di rumah tanpa memasak karena ia harus menghadiri acara kantornya sepanjang hari, betapa saya jengkel saat Mama begitu terlambat menjemput saya di sekolah karena alasan yang sama, betapa saya sering merasa kesepian ditinggal sendirian di rumah (juga karena Emak dan Abah sangat sibuk di sawah dan ladang saban hari, dari subuh hingga petang). Hal-hal yang nampak sepele ya, namun entah mengapa buat saya versi ABG saat itu sangat menyebalkan.

Bersama waktu, saya rasa ada bagian dari diri kami -Mama, Bapak dan juga saya- yang bertumbuh. Blessing in disguise mungkin ya, jika boleh disimpulkan... Mama dan Bapak, bagaimana pun hanyalah manusia yang punya banyak keterbatasan. Dan ini kali pertama mereka menjadi orang tua. Saya membuka kembali arsip memori saya, dan scene-scene "percobaan pertama" banyak berkelindan dalam kepala. Mulai dari kali pertama saya mencoba gerakan meroda dalam pelajaran olah raga, kali pertama saya belajar menulis tegak bersambung, kali pertama saya bermain teater, kali pertama saya menyetrika baju, kali pertama saya menggebuk drum, kali pertama saya melukis dengan cat air, dan kali pertama lainnya. Kalau ditotal, saya dengan cukup percaya diri bisa mengatakan bahwa hanya sekitar dua puluh persen dari semua percobaan pertama saya itu yang langsung berhasil secara sempurna dan memuaskan. 

Seiring saya matang diajari membaca manusia oleh waktu (dan sebagian pembelajaran saat kuliah), seiring saya ranum digodok pengalaman, seiring saya tumbuh menua diasuh usia, rasanya ada banyak sekali hal-hal yang akhirnya saya telisik lebih dalam dan hati-hati tentang manusia. Bagaimana akhirnya pemahaman saya mengenai apa yang manusia tampilkan saat ini merupakan akumulasi dari berbagai hal yang pernah mereka alami di masa lalu, membuka cukup banyak pemakluman dan pengampunan. Dan sejak saat itu, perlahan saya jadi merasa telah cukup serampangan menilai orang, termasuk orang terdekat saya sendiri selama ini.

Saya teringat cerita Mama di suatu pagi pada tanggal merah, dimana kami lumayan sibuk di sumur, mencuci pakaian dan saya mencuci sepatu kets. "Dulu saat lulus madrasah, Mama pingin banget masuk sekolah kebidanan, tapi Abah nggak ngasih padahal waktu itu keluarga kita lagi berkelimpahan, katanya perempuan lebih baik sekolah agama saja, jadi Mama lanjut madrasah lagi. coba kalo waktu itu Mama beneran disekolahin sampe jadi bidan, mungkin sekarang Mama udah jadi bidan hebat, ya Noy..." ucapnya diiringi derai tawa. Aku menimpali, "Ah belum tentu, kali aja kalo Mama jadi bidan Mama nggak akan ketemu Bapak dan nggak akan ada Kinoy" saya yang masih belasan tahun belia itu hanya menganggap hal itu sebagai selorohan Mama saja yang tidak bermakna apa-apa. Tapi saya yang dua puluh sekian tahun kini mendalaminya lagi, itu mungkin luka Mama yang seumur hidupnya Ia pikul seorang diri, bermanifestasi menjadi berbagai perilaku dan caranya merespon sesuatu.

Semangat Mama untuk menyekolahkan saya, ambisi Mama untuk mendorong saya menjadi siswa berprestasi waktu jaman sekolah dulu (ini lumayan bikin saya keder sebenarnya), betapa bangganya Mama saat saya lolos universitas negeri jalur prestasi, bangganya Mama saat aku wisuda dan saat saya lolos seleksi di salah satu korporat raksasa, kini menjadi sangat masuk akal. Dibatasi dan tidak didukung untuk menggapai mimpi sangatlah traumatis, pasti. Dan dalam hemat saya, Mama tidak ingin mewariskan pengalaman traumatis itu kepada saya, anak semata wayangnya. Walau dengan cara yang lumayan menyakitkan, tapi itulah respon ketakutan Mama -tanpa ia sadari- yang akhirnya mendorong saya mati-matian untuk terus berlari dan mendaki, berikhtiyar menjemput takdir terbaik dari mimpi-mimpi yang saya dan atau kami pupuk. 

Betapa dulu saya tidak pernah diberi ruang untuk membolos atau melalaikan PR. Betapa dulu dalam setiap tugas sekolah dan perlombaan, Mama menaruh perhatian ekstra. Betapa Mama yang selalu mempriorotaskan urusan sekolah dibandingkan yang lain. Kami boleh makan dengan lauk seadanya, tapi saat tiba waktu membeli perlengkapan sekolah dan LKS, dengan kondisi ekonomi yang sedang terhuyung, Mama mengusahakan sekuat tenaga untuk itu. Saya merasa masa-masa sekolah dasar dan sekolah menengah saya cukup berat -dan agak menyedihkan-, tapi setelah diselami kembali, kini saya paham dan saya mensyukuri setiap titik dan koma yang tergores dalam kisah itu. 

Saya mengingat tahun-tahun awal sekolah dasar, listrik belum masuk ke kampung kami, sehingga untuk mendapatkan listrik, harus menyambung kabel ke areal desa sebelah yang lumayan jaraknya. Setrika listrik tidak bisa berfungsi dengan daya sambungan listrik yang terbatas, dan setiap hari minggu selepas dzuhur, Mama akan membakar arang batok kelapa untuk menyetrika baju seragam saya untuk seminggu kedepan. Aroma setrika arang itu khas betul, dan seragam saya jadi keren, dengan tangan lihainya jadi rapi kelimis macam baju anak orang kaya kota yang sering lihat di sinetron. Buat saya dulu, itu jadi hal yang biasa saja dan memang sudah sepatutnya dilakukan para Ibu. Tapi ketika saya mengingat sekali lagi bahwa ada banyak teman sekelas saya yang bajunya kusut dan lusuh, ternyata Mama sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik, atau setidaknya berusaha memberi yang terbaik yang ia mampu, dengan segala keterbatasan kami kala itu.



Mama mulai sibuk menjadi pegawai paruh waktu di kecamatan dan kantor desa, saat saya menginjak kelas empat jika saya tidak salah ingat. dan sejak itu, saya mulai merasa Mama mengabaikan saya karena kesibukan barunya. Separuh mungkin betul begitu. Tapi setelah tahu bahwa itu adalah cara Mama untuk memproyeksikan mimpi-mimpinya yang tidak tercapai waktu muda, membuat hati saya rada mencelos. Jika saat itu adalah masa dimana Mama masih mencari jati dan mengaktualisasi diri, maka mungkin memang itulah satu-satunya kesempatan untuk Mama memiliki kebanggaan pada dirinya. Bahwa atribut pekerjaan itu mungkin salah satu hal yang membuat Mama menemukan kebermaknaan lain dari hidupnya. Pendidikan Mama hanya sampai sekolah menengah, dengan pendidikan yang tidak seberapa tinggi itu, dan fakta bahwa ia hanya perempuan yang hidup di desa, agak sulit untuk mendapat pekerjaan yang cukup layak, dan Mama berjuang sekali untuk mendapatkan kelayakan itu, meski dengan tanpa sadar hal itu akhirnya menyakiti kami jua. Kembali lagi karena mungkin saat itu kami belum cukup dewasa dan berdaya untuk saling mengaji rasa dan melogika asa.

Manusia berubah, waktu berlalu, umur kian menjadi genap, asam garam banyak dikecap. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya sudah berubah menjadi individu yang lebih baik, Tapi saya boleh percaya diri bahwa setidaknya saya belajar dan bertumbuh. Dan semoga dengan segala karunia dan berkat yang Tuhan berbaik hati sudah berikan, segenap privilege yang kini saya miliki, saya boleh untuk memilih jalan yang saya hendaki untuk terus bertumbuh, sembuh dan menjadi semakin lapang untuk mengampuni dan menerima apapun yang Dia kehendaki. Semoga saya diberi cukup keluasan untuk mengampuni diri saya, orang lain dan masa lalu, juga masa yang akan datang. 

Lamunan saya berakhir ketika bus yang saya tumpangi berbelok ke sebuah rumah makan, "Istirahat! Istiahat!" suara kondektur memekik membuyarkan keheningan. Sudah setengah jalan, saya tengok jam di kabin bus menunjukan pukul 01.10 dini hari. Sebentar lagi kami akan menemui jalanan mengular dan berkelok sepanjang Gentong - Malangbong - Ciawi hingga ke Ciamis. Pada perjalanan pulang kali ini, jalan yang saya lewati masih sama, tapi rasanya agak lebih sendu dari biasanya tapi juga terasa lebih lega secara bersamaan. Sebagian perasaan sendu dan haru biru ini saya biarkan mengendap, berharap itu dapat menjadi oleh-oleh terbaik yang bisa saya bawa pulang.