Minggu, 14 November 2021

Sampai Kita Tua, Sampai Jadi Debu



Pagi masih terlalu muda, matahari belum  terjaga dan bulan yang renta masih bersinar lembut malu-malu. Shalawat dan puji-pujian berbahasa Sunda yang terdengar sumbang agak bergetar dikumdangkan seorang bapak tua lewat pengeras suara dari surau di seberang hamparan pesawahan. Masih ada sekitar tiga puluh menit sebelum adzan subuh dikumandangkan, tapi suara pancuran air sudah nyaring bergemericik dari  rumah Emak. Hari Emak memang selalu dimulai lebih awal dari terangnya langit. Dengan langkahnya yang ringkih dan sedikit menyeret kaki kirinya yang sendinya kaku-kaku akibat reumatik, Emak berjalan menuju kamarnya yang diterangi bohlam kuning 10 watt. Emak duduk diatas kursi plastik hijau metaliknya, (sudah hampir dua tahun ini Emak tidak bisa sembahyang sambil berdiri sempurna karena masalah di persendian kakinya) membungkus dirinya dengan jubah putih agak kusam, kemudian terdengar pelan takbiratul ikhram. Setelah beberapa rakaat, wirid dan beragam doa terpanjat, Emak masih duduk disana menanti adzan sembari membaca shalawat dan nama-nama Tuhan yang sudah dihapalnya diluar kepala. Suaranya mengalun tidak terlalu keras juga tidak terlalu pelan, dan suara senandungnya selalu berhasil membangunkan Abah dari tidurnya tepat beberapa saat sebelum seluruh muadzin di surau-surau hampir bersamaan mengumandangkan lafadz adzan. Setelah tertunai kewajibannya menghadap Tuhan, asap akan mengepul melewati jendela asap dapur, dua kuali ukuran sedang bertengger diatasnya.

Hari-hari Emak dan Abah hampir selalu sama, pergi berladang, mengurus ternak, mengurus sawah, menyiang lahan, menyadap nira, dan membersihkan rumput gulma di pekarangan yang disulapnya jadi kebun sayur; terung, cabai, daun bawang, pare, labu, seledri, bawang merah, kecambah, bayam, katuk, kangkung, timun, melinjo, kunyit, salam, serai, laos, dan kacang panjang tumbuh subur dan ceria di sana. Tiap hari sayuran itu dipanen untuk mengisi kuali di tungku tanah dapur kami, tapi Tuhan Maha Baik karena sEmakin dipanen justru pertumbuhan buah dan tunas barunya seperti balapan tak mau kalah cepat. Gerobak beroda satu warna merah terang akan terisi berbagai perkakas dan perbekalan, didorong agak tergesa oleh Abah menyusuri jalan setapak tanah melipir dari halaman belakang rumah kami, Emak kemudian berjalan pelan dengan langkahnya yang pendek-pendek, membuntuti dari belakang terpaut jarak sekitar sepuluh meter karena Emak dengan sebelah kaki kakunya itu tentu sudah tidak mampu mengimbangi langkah Abah. Abah selalu berjalan cepat dan terlihat terburu-buru seakan jika dia memperlambat langkahnya, maka dia akan diburu Dinosaurus. Belakangan kuketahui alasan mengapa Abah selalu berjalan cepat karena faktor keturunan katanya, sebab almarhum ayahnya dan empat abangnya punya cara berjalan yang serupa.

Tengah hari saat adzan dzuhur berkumandang, mereka akan pulang dengan masih mendorong gerobak merahnya yang berisi lebih banyak dan lebih penuh. Kadang beberapa kelapa bertengger, kadang ubi dan singkong, kadang jagung dan sayuran, kadang setandan pisang yang hampir menguning dan pepaya, mereka mengambil apa saja yang sudah layak dipetik dari sawah dan kebun mereka, dan ini menjadi alasan mengapa gudang penyimpanan dan keranjang dapur tak pernah terlihat kosong. Sesampainya di rumah, segelas air seduhan gula merah akan cukup menghibur rasa lelah dan gerah mereka. Soal makan, aku tidak pernah menjumpai Abah yang protes mengapa Emak doyan sekali memasak sayur setiap hari. Abah hanya akan menyendok nasi dua kerukan penuh, kemudian mengguyurnya dengan sayur, ikan asin sangrai dan sambal yang nyaris kehilangan harga diri karena rasanya tidak pedas sama sekali.

Saat hari sudah agak menua, sembari menyantap singkong rebus dan engsrod –sejenis kerupuk yang terbuat dari parutan singkong- Abah akan terus bercerocos, menceritakan apa saja yang dijumpainya seharian ini. Ceritanya kadang dimulai dengan keadaan sawah yang tak kunjung digenangi air, tikus tanah nakal yang menggarong ubi-ubi di kebun, perangkap lalat yang lemnya tidak lengket, bangkong di sawah yang bertelur subur menempel di pematang sawah, harga pupuk yang sEmakin tidak masuk akal, pertemuannya dengan rekan sesama petani, adzan dari salah satu surau yang selalu lebih cepat 15 menit dari jadwal seharusnya, bebek-bebeknya yang bertelur tidak menentu, atau membahas musim hujan yang dirasa masih ragu-ragu berpesta membawa kabar gembira. Emak akan menimpali atau hanya tertawa, karena Emak berpendapat dari zaman masih bujang hingga sekarang sudah jadi bujang lapuk, Abah tidak pernah berubah: masih selalu bercerita dengan penuh semangat dan bernada jenaka, dan hal itu jadi hiburan tersendiri buat Emak.

Selepas isya giliran Emak yang bercerita, kadang mengulang topik yang sama yang sudah dibahas sebelumnya, kadang juga hanya bercelutuk sederhana tentang apa saja yang terlintas di pikirannya. Kemudian diatas kasur kapuk yang digelar di ruang teve, mereka akan tawar menawar menentukan siapa yang lebih dahulu harus memijat sambil mengolesi balsem. Biasanya Emak akan mengalah karena Abah lebih banyak berargumen ini itu dan hal itu membuat Emak sebal. Aroma balsem menguar memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma tubuh mereka yg khas. Setelah memijat Abah kemudian Emak akan menagih gilirannya, hal ini sering juga membuat Emak sebal dan protes, karena Abah hanya akan membayar dengan memijat alakadarnya dengan alasan sudah keburu mengantuk. Emak akan mengomel kemudian mengancam bahwa mulai besok Emak tidak akan mau disuruh memijati Abah lagi, Abah hanya akan nyengir dengan suara tawanya yang jenaka memamerkan sederet gusi merah muda yang sudah yatim piatu. Ku perhatikan hingga saat ini ancaman itu tak pernah benar-benar terbukti.

Semakin tua, cinta banyak bertransformasi, bukan lagi dalam bentuk hadiah-hadiah kejutan, kata romantis, atau kecupan di kening. Cinta menjadi semakin sederhana, diterjemahkan dengan saling merawat, menemani, dan saling berbagi. Cinta berwujud nasi hangat dan sayur yang tersaji tiap hari di meja makan. Cinta berwujud tidak pernah membiarkan salah satu menjadi hanya satu. Cinta berwujud menemani langkah beriringan. Cinta berwujud saling berbagi perasaan dan saling mendengarkan. Cinta berwujud saling mengolesi balsem dan memijati satu sama lain bergantian sebelum terlelap. Cinta berwujud doa-doa tulus memohon kesehatan, keberkatan, kebahagiaan, dan panjang umur untuk satu sama lain. Cinta berwujud rasa syukur yang selalu deras terucap merayakan setiap hari yang dilewati bersama, menerima dengan patuh dan sungguh semua suka dan dukanya, tawa dan tangisnya. 

“Tiap pagi menjelang kau disampingku, ku aman ada bersamamu… Selamanya… Sampai kita tua, sampai jadi debu… Ku di liang yang satu, ku disebelahmu…”

 

0 komentar:

Posting Komentar