Kamis, 22 Januari 2015

Cerpenku : Menara Api




Menara Api

Karya : Rina Parliya


Angin gurun mengelus perlahan menerbangkan aroma bubuk mesiu, aroma kegelisahan dan keketiran seketika menyeruak jua mengendapi hari yang dijilati gagah mentari. Ameer mengayuh sepeda tuanya melewati gang- gang kecil di pemukiman padat penduduk Kishmar, sebuah distrik yang berjarak dua belas kilometer dari pusat pesta nyawa, Jalur Gaza – ranah Al-Aqsa. Raja siang tengah berbahagia menyambut nyawa – nyawa para syuhada yang dipanggil Tuhannya, suara rentetan peluru yang dimuntahkan panser – panser Israel tengah memupus segala kedamaian, suara rentetan itu ibarat lagu yang setiap waktu berdendang mengantar ruh – ruh kembali ke HaribaanNya, ratusan nyawa tak berdosa telah hilang akibat konflik tak berkesudahan ini, ratusan wanita menjadi janda, para bocah menjadi yatim dan para ibu kehilangan buah hati mereka. Ameer menghentikan laju sepedanya dan dengan segera merobohkan tubuhnya ketanah, kedua matanya yang bening purnama merekam ketika ratusan muntahan basoka berlomba meluncur mewarnai langit, dadanya berdegup kencang dan mulutnya tak henti menyebut asma Tuhannya.
“Assalamualaikum Ustadz!” sapa Ameer begitu dirinya sampai di masjid Al-Ulumussalam. “Waalaykumussalam, kemarilah Nak!” Ustadz Hakim menutup mushaf Al-Qur’annya dan memandang Ameer dengan senyum yang bersahabat, iapun duduk didepan Ustadz Hakim dan mengeluarkan buku catatan lusuhnya dari dalam tas kulit pemberian ayahnya. “Assalamualaikum! Maaf kami terlambat! Sekte Hizbun telah diserang Ustadz, Zainab menjadi seorang yatim!” pilu rasanya hati mereka mendengar berita itu, akan  ada berapa ratus lagi anak – anak yang menjadi yatim akibat kebiadaban tentara Zionis Israel? Retoris yang menjadi misteri dalam batin mereka. “Innalillahi wainna ilahi raji’un!” jawab mereka serempak. Semua mematung, luka jelas terlukis di teduh air muka mereka, hening sesaat. Sesosok tubuh  tinggi semampai, dengan  tudung putih yang melambai dipermainkan angin mendekati mereka, batang hidung yang menjulang indah tampak serasi dengan sepasang mata sebening embun dan lengkung alis yang hitam berkilat. Fatima, begitulah gadis belia itu biasa disapa. Teduh wajahnya tersembunyi dibalik tunduk, setelah mengucap salam iapun duduk disamping Ustadz Hakim yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Betapapun gentingnya situasi diranah suci Al-Aqsa ini, namun semangat juang dan semangat belajar tunas – tunas mudanya untuk belajar tak pernah surut. Ketika setahun silam ratusan basoka meluluh lantahkan bangunan sekolah Ameer, maka perjuangan untuk menimba ilmu tak turut terkubur hancur bersama ratapan puing – puing lara bangunan madrasah  itu. Bersama puluhan  rekannya, Ameer menimba ilmu di masjid Al-Ulumussalam, satu – satunya masjid agung yang masih berdiri di distrik Kishmar. Selepas dzuhur hingga pukul lima petang, mereka belajar bersama para Ustadz yang dengan sukarela membagi ilmunya pada para santri. Diranah zaitun  ini, nyawa ibarat barang obralan yang dengan  mudah  tumbang diberondong peluru muntahan monster – monster baja Israel. Ayah Ameer adalah salah satu korban kekejihan Israel, masih lekat diingatannya, ditengah malam ketika purnama menerangi langit Kishmar, sekelompok tentara Israel mendobrak pintu rumahnya dan menyeret ayahnya keluar dan membawanya kedalam mobil box hitam, jerit ibunya yang menyatat purnama tak sama sekali mereka dihiraukan, hingga detik inipun ayah Ameer tak pernah kembali dan tak diketahui keberadaannya.
Masjid dengan kubah putih keemasan dan menara yang tinggi menjulang meniangi langit ini, selain berfungsi sebagai sarana ibadah dan aktivitas syi’ar Islam, juga telah menjadi naungan Ameer dan kawan – kawannya menuntut ilmu. Dalam situasi genting seperti ini, bagi Ameer bukanlah suatu halangan untuk berhenti mengejar cita – citanya. Serba kurang tak menyulutkan semangatnya, kelak jika ia sudah dewasa, ia ingin menjadi seorang ahli tekhnologi yang menciptakan peralatan –peralatan canggih bagi perlindungan keamanan Palestina, sehingga negeri itu takkan lagi dijajah, “Takkan ada lagi tangis pilu dam rintih duka atas pertumpahan darah, takkan ada lagi dan tak boleh ada lagi!” Tegasnya dalam batin. Usia pemuda itu kini sudah menginjak angka 16, Perang telah mengajarinya banyak hal, termasuk arti mensyukuri nikmat Allah dan perjuangan tak kenal letih. Ameer faham bahwa dengan pendidikan, dirinya dapat menjadi cerdas, besar harapannya akan kemerdekaan tanah airnya ini dari cengkraman kaum Yahudi.
 Siang itu, seperti biasa Ameer berpamitan pada ibunya untuk pergi menuntut ilmu. Ditemani sepeda tuanya ia bergegas pergi, hanya butuh lima belas menit untuk sampai di Masjid Al-Ulumussalam dan setibanya disana, sayup terdengar suara lirih merdu lantunan kalam Tuhan. “Ya Ayyuhalladzina aamanu in’tansurullaha yansurukum, wayusabbit aqdamakum” (Muhammad : 7) desiran hangat menyusupi relung qalbunya, perlahan ia langkahkan kakinya mendekati sumber suara merdu itu. Dadanya berdegup kencang ketika kedua matanya menangkap sosok gadis cantik dengan hijab putih sedang memangku kitab, Fatimaa! Seru batinnya. Ameer tak pernah mengerti mengapa ada debar halus didadanya tiap kali kedua matanya memotret teduh air muka Fatimaa. Gadis ayu itu terkadang menari – nari di dalam otak Ameer, Masa remaja yang ia jejaki kini ternyata sudah mulai terhias rasa manis menyukai lawan jenis, namun Ameer faham betul bahwa bukan saat yang tepat untuk mengutarakan isi hatinya kini pada Fatimaa.
“Ameer, apa yang kamu lakukan disini Nak?” suara berat milik Ustadz Hakim membuyarkan lamunan Ameer. “Ah Ustadz, tidak, saya hanya sedang menunggu rekan – rekan lain!” jawab Ameer sekenanya. “Yang lain sudah datang, mari! Fatimaa, pelajaran akan dimulai, bergegaslah Nak!” seru Ustadz pada Ameer dan pada Fatimaa yang sedari tadi nampak asyik berkutat dengan mushaf Al-Qur’annya. Gadis itu menoleh, sepasang mata indah sebening embun itu bertukar pandang dengan sepasang mata kilat purnama milik Ameer, seuntai senyum tunduk terlempar bersamaan, degupan kencang bertalu-talu dalam dada Ameer. Pelajaran untuk hari ini adalah Fisika, Sains dan Al-Qur’an Hadis, dengan apik Ustadz Hakim menjelaskan semua materi dan dengan sabar menanggapi pertanyaan – pertanyaan dari anak – anak didiknya.
 Diakhir pelajaran, seperti biasanya Ustadz Hakim memberikan wejangan – wejangan pada para santrinya, “Nak, kalian semua adalah harapan Al-Aqsa, teruslah belajar dan berjuang, kemerdekaan takkan kita raih dengan hanya diam berpangku tangan,  keterbatasan dan ancaman bukanlah halangan untuk kalian gantungkan dan kalian raih mimpi – mimpi kalian! Tanah air kita membutuhkan kalian, tanah air kita memerlukan generasi cerdas untuk memimpin dan membebaskan kaum kita dari cengkraman Yahudi! Gantungkanlah cita – cita dan haarapan kalian lebih tinggi dari menara masjid ini! Kelak sekalipun menara masjid ini runtuh, maka haarapan kalian akan tetap hidup! Belajarlah dengan bersungguh-sungguh dimanapun, karena dengan kesungguhan itu, kalian dapat menjadi apa yang kalian ingin! Berjuanglah Nak! Wahai orang – orang yang beriman, barang siapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu! (QS Muhammad : 7)” tukas Ustadz Hakim dibarengi senyum hangatnya yang  menyusupkan keteduhan pada hati santri-santrinya.
Ameer menghampiri sepeda tuanya yang setia terparkir dihalaman masjid, ia harus segera pulang karena ia harus membantu ibunya menumbuk gandum dan membuat adonan roti, perkataan Ustadz Hakim tadi benar – benar membawa hawa positif yang menggebu dalam diri Ameer. Ia tetap bersyukur masih bisa mengeyam pendidikan ditengah konflik agama yang berkecambuk, langit Mei ibarat kanvas biru terang dengan lukisan awan – awan putih, Ameer berdiri dipinggir sepedanya, mata purnamanya menerawang jauh ke puncak menara masjid yang tinggi menjulang, “Aku berjanji akan menjadi seorang yang berguna bagi bangsaku, aku berjanji akan terus berjuang untuk kebebasan tanah airku, aku berjanji akan terus belajar agar aku bisa meraih semua mimpiku, aku berjanji akan menjadi seorang ahli tekhnologi dan menciptakan peralatan keamanan anti teror untuk Palestina,, agar kelak Palestina tak lagi tejajah seperti sekarang, Ya Rabbku, perkenankanlah! Wahai menara yang tinggi menjulang, saksikanlah! Saksikanlah bahwa mimpiku dan semangatku akan lebih tinggi menjulang dari padamu! Saksikanlah!” Janjinya dalam hati, sepasang purnama itu kini menyala berkilat-kilat, sungai kecil mengalir dipipinya dan haru berkecambuk dibatinnya.
Ameer mengayuh sepeda tuanya meninggalkan pelataran masjid, namun tiba-tiba terdengar suara lesingan senjata menderu, sebuah basoka berukuran 2 meter melesat membelah langit dan dalam hitungan detik tengah siap menghantam menara masjid, Duuuaaarrrr... akhirnya batang baja itu menabrak puncak menara dan kemudian meledak, Ameer melompat dari sepedanya dan membanting tubuhnya ke tanah, bibirnya bergetar menyebut asma Tuhan, dadanya terasa begitu sesak. Menara itu dalam hitungan menit berubah menjadi menara api, kobaran api menjalar menjilati tiang langit itu. Tak berselang lama, basoka kedua meluncur membombardir menara api itu, kali ini menara yang gagah itu terlihat pilu, bagian atas tubuhnya mulai hancur sedang angin dengan genit menyambar kobaran api, menara itu masih tampak tegar sebelum kiriman basoka yang ke-7 menggoyahkan kokoh pondasinya dan akhirnya menara api itu benar – benar tumbang, tak cukup sampai disana, hujan peluru dan meriampun turut membombardir masjid. Luka dan pilu jelas tergambar diwajah Ameer, duka mengalir deras dipipinya, sepasang rembulan molek itu kini tertutup hujan lara, satu – satunya tempat paling agung dan tempatnya menuntut ilmu kini hanya tinggal tumpukan puing-puing, hatinya seakan turut remuk  terkubur bersama reruntuhan, perasaannya pun seaakan turut terbakar bersama menara kebanggaannya itu, “Israel biadab! Aku berjanji akan membalas segala luka dan kehancuran ini! Ya Rabb, berilah kami kekuatan! Ya Rabb, kembalikan kedamaian kami!” batinnya.
“Innalillahi wainnailahiraji’un!” suara Ameer terdengar sayu bergetar begitu ia mendengar kabar bahwa Ustadz Hakim dan Fatima telah syahid dalam pesta peluru di masjid kemarin sore. Ameer dan puluhan santri lain kini telah kehilangan sosok guru terbaik dan juga sahabat terbaik mereka. Isak tangis mulai terdengar bergemuruh, ia pun tak kuasa menahan air matanya, masih tergambar jelas bagaimana teduh air muka dan senyum Ustadz Hakim dibenaknya, masih pula terngiang suara lembut memberatnya. Dadanya terasa begitu perih, ia tak hanya kehilangan sosok guru yang sudah ia anggap ayahnya sendiri, tapi ia juga kehilangan sepasang mata embun yang apabila ia pandang, maka sejuklah hatinya, senyum yang seakan lebih legit dari gulali, merdu lantunan ayat yang membuat hati menjadi syahdu, semua itu hanya tinggal sebongkah kenangan yang mengendapi perasaannya, perang benar telah merenggut orang-orang terkasih. .
“Celakalah kita kawan, kini tiada lagi guru yang akan mengajar kita, tiada pula tempat bernaung untuk kita belajar!” nada putus asa terdengar jelas dari ucapan Ahmed. “Kita bisa belajar dimanapun sekalipun tanpa guru kawan! Ingatkah kalian wejangan terakhir Ustadz Hakim? Gantungkanlah semangat dan cita-cita kita lebih tinggi dari menara mesjid itu, maka kelak meski menara itu runtuh, impian dan semangat kita akan tetap kokoh berdiri! Kini menara itu telah terbakar dan hancur bekeping-keping, tapi Allah tidak pernah hancur! Tapi mimpi, harapan dan semangat kita lebih tinggi dari menara itu! Semangat, impian dan harapan kita takkan terbakar dan hancur karena hujan peluru, kita adalah harapan terbaik yang dimiliki Palestina kawan! Al-Aqsa membutuhkan kita! Keterbatasan dan kekurangan bukan halangan untuk tetap berjuang dan belajar bukan? Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertawakal!” jelas Ameer panjang lebar, semua rekannya tertegun untuk kemudian mereka saling berangkulan. “Ya, Kawan! Kita akan berjuang bersama, kita takkan mengecewakan Al-Aqsa! Kita akan terus belajar, Allahuakbar!” seru mereka berbarengan, tangan mereka mengepal penuh gairah ketika takbir diserukan.
Angin menerbangkan debu-debu reruntuhan Al-Ulumussalam, menara dan bangunan masjid yang kemarin masih berdiri agung kini hanya tinggal ratap puing, luka belum kering dalam hati pemuda-pemuda itu, tapi semangat membuncah mengalahkan segala keputus asaan. Pendidikan adalah jalan terbaik untuk mencerdaskan diri guna menjadi penyongsong masa depan Al-Aqsa untuk meraih kemerdekaan. Meski kini mereka jauh dari fasilitas dan tekhnologi canggih, namun mereka percaya, bahwa Tuhan lebih canggih dari dan Tuhan Maha Pemberi Ilmu, mereke percaya “Fainna ma’al usrii yusraah”.  Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

Banjar, 07 Mei 2013

0 komentar:

Posting Komentar